Abdurrahman
bin Yahya al-Muallimi al-Yamani menyebutkan dalam bukunya Ilmu ar-Rijal wa
Ahammiyatuhu hlm. 91 mengatakan:
“Kebutuhan
Sejarah Islam untuk mengetahui keadaan perawi peristiwa sejarah lebih besar daripada
kebutuhan hadist terhadap perawi hadist, hal itu karena kedustaan dan
bermudah-mudahan dalam Sejarah Islam lebih banyak terjadi. Bahkan mengetahui
keadaan perawi kejadian sejarah merupakan salah satu jenis terpenting disiplin
Ilmu Sejarah Islam. Ilmu-ilmu agama dan kesejarahan lebih utama untuk dijaga
daripada yang lain, karena jika ia hilang tidak mungkin untuk mendapatkannya
kembali masa kenabian yang terakhir. Adapun yang lain tidak seperti itu, karena
ia tidak lain hasil dari proses akal, pengalaman dan percobaan, Jika hilang
masih mungkin untuk menghasilkannya untuk kedua kalinya...”.
Al-Allamah al-Muallimi benar dalam masalah ini, sehingga seorang
pemerhati sejarah Islam harus memiliki perhatian dengan para perawi sejarah dan
hal yang terkait dengan mereka dari metodenya dalam meriwayatkan sejarah,
kritik ulama terhadap mereka dari sisi jarh wa ta’dil dan hal lainnya
yang terkait dengan riwayat dan sumbangsih mereka terhadap Sejarah Islam. Hal
ini penting sehingga sejarawan Muslim tahu sejauh mana kadar riwayat sejarah
bisa diterima.
Contoh yang bisa diberikan misalkan
penilaian ulama terhadap Muhammad bin Umar bin Waqid al-Aslami yang lebih
dikenal dengan al-Waqidi (130-207 H), seorang sejarawan masyhur yang memberikan
sumbangsih besar terhadap Sejarah Islam. Muridnya sekaligus sekretarisnya,
Muhammad bin Sa’d (230 H) menyebutkan (Tabaqat Ibnu Sa’d, 7/603) bahwa ia
adalah mawla Bani Sahm, salah satu bathn (bagian) dari Bani
Aslam. Ia menjadi qadhi al-Ma’mun, Khalifah ke-8 Daulah Abbasiyah selama
4 tahun di Baghdad. Seorang alim dalam Maghazi, Sirah an-Nabawiyah, Futuhat
(Penaklukan Wilayah), Hukum Islam, dan Perbedaan Fiqh.
Pada tempat lain Ibnu Sa’d (Tabaqat
Ibnu Sa’d, 9/336) menyebutkan bahwa al-Waqidi adalah mawla Abdullah bin
Buraidah al-Aslami, ia datang ke Baghdad tahun 180 H dengan berhutang. Ia
kemudian melakukan perjalanan ke Syam dan Raqqah kemudian kembali ke Baghdad.
Ia diberi jabatan qadha’ (kehakiman) oleh al-Ma’mun al-Abbasi. Ketika
al-Mahdi datang dari Khurasan ia dijadikan qadhi (hakim) di militer
al-Ma’mun. Ia tetap menjadi qadhi hingga meninggal di Baghdad tanggal 10
Dzu al-Hijjah tahun 207 M.
Bagaimana kritik ulama terhadap
al-Waqidi, Ibnu Sayyid an-Nas (734 H) menyebutkan dalam mukadimmah karyanya, Uyun
al-Atsar (1/71) menyebut bahwa keluasan ilmu menjadi peluang muncul
perkataan yang aneh dan asing, dan banyaknya perkataan asing membuka peluang
munculnya tuduhan. Al-Waqidi tidak diragukan keluasan ilmunya hingga semakin
banyak perkataannya yang aneh dan asing.
Pada halaman yang sama, Ibnu Sayyid
an-Nas menyebut bahwa ia meriwayatkan usaha al-Waqidi menelusuri tempat-tempat
peristiwa Tarikh Islami dan pertanyaan yang ia ajukan kepada anak-anak dan para
mawla shahabat dan orang-orang yang gugur tentang keadaan para pendahulu
mereka yang menjadikannya bersendirian menyebutkan riwayat dan kabar tersebut
yang jumlahnya (banyak) dan tidak terbatas.
Ulama lain, misalkan Adz-Dzahabi (748
H) dalam karyanya (Siyar A’lam an-Nubala’, 8/295) menyebut bahwa ia salah satu
wadah ilmu, meski disepakati riwayatnya dhaif. Penilaian final adz-Dzahabi ini
diambil setelah mengambil kesimpulan begitu banyak silang pendapat kritik ulama
hadist terhadapnya dari sisi jarh wa ta’dil (Siyar A’lam, 8/299-305).
Terakhir, adz-Dzahabi menyampaikan
pendapatnya (Siyar A’lam, 8/305) bahwa: al-Waqidi didhaifkan, namun riwayatnya
diperlukan dalam masalah peperangan, Tarikh Islam, dan riwayatnya disebutkan
bukan sebagai hujjah (namun sebagai pelengkap, pen.). Sedangkan dalam faraidh,
kewajiban masalah agama, maka tidak perlu untuk disebutkan.
Murid adz-Dzahabi, Ibnu Katsir (774
H) (al-Bidayah wa an-Nihayah, 4/580) menyebutkan pendapat yang kurang lebih
senada, bahwa al-Waqidi memilih tambahan (rincian) yang baik, sejarah yang
tersusun (rapi), dan ia termasuk Imam dalam disiplin ini (Tarikh Islam). Ia shaduq
(jujur dan benar) dan banyak menyebutkan (riwayat Tarikh Islam).
Salah satu Sejarawan masa kini
Saudi, Muhammad Shamil as-Sullami (Manhaj Kitabah at-Tarikh, hlm. 439-440)
memungkasi perkataan ulama tentang al-Waqidi dengan mengatakan bahwa yang
nampak dari para kritikus Hadist dan Tarikh Islam bahwa riwayat al-Waqidi dalam
masalah Sejarah Islam dan Siyar bisa diterima. Namun (disyaratkan) riwayatnya
tidak menyelisihi riwayat yang sahih, karena (riwayatnya) tidak bisa dijadikan
sebagai hujjah jika bersendirian apalagi jika menyelisihi lainnya yang lebih tsiqah
darinya.
Pemaparan ini menjadikan pentingnya
memahami posisi perawi sejarah, sehingga Sejarawan Islam tahu betul sejauh mana
ia bisa mengambil pendapat seorang perawi, apakah semua riwayatnya bisa
diterima?, dalam masalah apa saja
riwayatnya diterima?, dalam masalah apa riwayatnya bisa ditolak?.
Kesimpulan lebih jauhnya bahwa
sedari dulu Tarikh Islam itu punya metodologi khusus, sehingga salah besar jika
sebagian orang yang menyebut Tarikh Islam tidak punya metodologi hanya karena
berbeda dengan yang dipahaminya dari metode sejarah Barat. Jika pembaca belum
percaya, boleh tengok buku Asad Gabriel Rustum (1897-1965), seorang Sejarawan
Kristen Lebanon lulusan American University in Beirut (AUB), sempat pula
melanjutkan kuliahnya di Chicago University. Ia pernah menulis metode
kesejarahan dengan banyak mengadopsi kaidah-kaidah dalam Ilmu Hadist. Karena
itu ia memberi judul bukunya dengan Musthalah at-Tarikh.
Hal itu semua menjadikan seorang
Muslim harus bangga dengan identitasnya sendiri yang mandiri dan cemerlang,
identitas itu akan menghantarkannya memahami lebih baik jati dirinya sebagai
bagian dari Umat Islam yang memiliki peradaban mandiri yang kuat dan perkasa.
Metode “impor” yang digunakan untuk membedah Tarikh Islam akan menjadikan
rasanya tidak “original” lagi, bahkan bisa membawa racun yang membinasakan
dirinya dan orang lain. Wallahua’lam.
Referensi
Adz-Dzahabi.
Tt. Siyar A’lam an-Nubala. Tahqiq Khairi Sa’id. Kairo: Maktabah
Tawfiqiyyah.
Ibnu
Katsir. 1417 H. Al-Bidayah wa an-Nihayah. Tahqiq Abdullah bin Abd
al-Muhsin at-Turki. Cetakan Pertama. Kairo: Hajar.
Al-Muallimi,
Abdurrahman bin Yahya. 1417 H. Ilmu ar-Rijal wa Ahammiyatuhu. Tahqiq Ali
Hasan al-Halabi. Cetakan Pertama. Riyadh: Dar ar-Rayah.
Rustum,
Asad. 1423 H. Mustalah at-Tarikh. Cetakan Pertama. Beirut: Maktabah al-Ashriyah.
Ibnu
Sayyid Nas. Tt. Uyun al-Atsar fi Funun al-Maghazi wa asy-Syamail wa as-Siyar.
Tahqiq Muhyiddin Mesto dan Muhammad al-‘Ied al-Khathrawi. Madinah;
Beirut: Dar at-Turats; Dar Ibnu Katsir.
As-Sulami,
Muhammad bin Shamil. 1418 H. Manhaj
Kitabah at-Tarikh al-Islami. Cetakan Kedua. Makkah: Dar ar-Risalah.
Ngangkruk,
11 Rabi al-Awwal 1440 H/19 Nopember 2018 Pkl. 16.51 WIB.