gambar dari mawdoo3.com
Oleh: Dr. Mohammed Amahzun
Kecenderungan untuk mengumpulkan dan menjaga pengetahuan telah terbukti
adanya pada masa awal Islam, hal itu dimulai ketika para shahabat dan tabi’in
senior masih hidup. Berdasarkan beberapa data yang ada, nampak bahwa shahabat
dan tabi’in memiliki kesadaran sejarah, sehingga pengetahuan dan kenangan di
ingatan mereka kemudian dituangkan di tulisan hingga dokumentasi itu tetap
terjaga walau penulisnya telah tiada.
Waqidi telah menggunakan beberapa tulisan shahabat yang kemudian ia
cantumkan dalam karyanya al-Maghazi. Beberapa referensi yang ia gunakan
diantaranya adalah tulisan tangan Sahl bin Abi Khatmah al-Anshari yang wafat
masa kekuasaan Muawiyah bn Abi Sufyan. Beberapa data masih tersimpan di tangan
cucunya, Muhammad bin Yahya. Dari Muhammad inilah Waqidi mencantumkan sumber
tersebut dalam al-Maghazi. Nukilan itu cukup memberi gambaran akan
perhatian Sahl dengan Maghazi Rasulullah.
Nukilan lain yang bisa disebutkan adalah catatan ‘Ala bin al-Hadrami yang
memberi contoh lain bahwa sebagian shahabat biasa menuliskan ingatan mereka
tentang Sirah Rasulullah.
Namun yang pasti, kitab khusus tentang Sirah Nabawiyah baru dituliskan masa
tabi’in dimana sebagian shahabat masaih hidup pada waktu itu dan tidak dikenal
pengingkaran mereka akan hal tersebut yang menunjukkan persetujuan mereka akan
tulisan tersebut.
Shahabat memiliki pengetahuan yang luas dan rinci tentang Sirah, karena
mereka hidup dan ikut serta dalam peristiwa tersebut. Kecintaan, keterikatan,
hasrat kuat mereka untuk ittiba’, usaha mereka mereka untuk mengambil
sunnah Rasulullah dalam hukum menjadikan Sirah Nabawiyah tersebar, diingat, dan
terjaga di tangan para shahabat.
Hal penting yang perlu disebutkan, bahwa penulisan Sirah yang muncul sejak
dini ini sangat kecil masuknya kemungkinan distorsi, melebih-lebihkan,
menakut-nakuti, lupa atau hilangnya data.
Termasuk dari para pendahulu dari kalangan
tabi’in yang menuliskan Sirah Nabawiyah diantaranya: 1) Urwah bin Zubair
(14 H), 2) Aban bin Usman bin Affan (105 H), 3) Syurahbil bin Sa’id (123 H), 4)
Muhammad bin Syihab az-Zuhri (124 H). 5) Ashim bin Amru bin Qatadah (129 H), 6)
Musa bin Uqbah (141 H).
Mereka semua adalah penduduk Madinah, dan jelas jika mereka terpengaruh
besar dengan adat kebiasaan di Madinah yang mengedepankan hadist. Sehingga
alami sekali jika Sirah Nabawiyah muncul di Madinah, karena penduduknya telah
menolong dan melindungi Islam sehingga Sirah Nabawiyah memiliki ciri khas umum Madinah
dan Hijaz yang memiliki kecenderungan besar terhadap hadist, riwayat, tadqiq
(pemastian riwayat), dan penjagaan riwayat.
1) Urwah bin Zubair
Urwah bin Zubair termasuk dari fuqaha Madinah yang tujuh, ia fokus untuk
belajar dan memberi perhatian besar terhadap hadist, Sirah Nabawiyah, dan Maghazi.
Ibnu Syihab az-Zuhri mengatakan tentangnya:
رأيت عروة بحراً لا تكدره الدلاء
“Aku melihat Urwah
bagikan laut yang tak keruh meski orang membanggakan ilmunya”.
Urwah meriwayatkan dari bibinya sendiri, Aisyah ash-Shiddiqoh, Abu
Hurairah, dan yang semisalnya. Yang
meriwayatkan darinya adalah Habib bin Abi Tsabit, Khalid bin Abi Imran
(Qadhi Tunis), Abu Zinad, Az-Zuhri dan lainnya. Beberapa bukunya bisa dinikmati
sampai sekarang melalui riwayat yang terserak di karya Muhammad bin Ishaq,
Waqidi, Thabari dan lainnya. Karya Urwah adalah karya tertulis paling awal yang
sampai ke masa sekarang dari Maghazi.
2) Aban bin Usman bin Affan
Aban bin Usman bin Affan, meski ia ikut serta dalam pemerintahan semisal
menjadi amir Madinah masa Abd al-Malik bin Marwan (65-86 H) namun ia
lebih cenderung untuk menyibukkan diri dengan ilmu, karena itu ia dianggap
salah satu dari fuqaha Madinah yang tujuh, termasuk dari orang pertama
yang menuliskan Maghazi dan hadist. Namun para sejarawan belum menukil
tulisannya, kecuali yang dilakukan oleh
Ya’qubi dalam Tarikhnya.
3) Syurahbil bin Sa’id
Syurahbil bin Sa’id juga memiliki kecenderungan ini, ia termasuk salah satu
ulama dan penulis awal tentang Maghazi. Sufyan ats-Tsauri mengatakan
tentangnya:
لم يكن أحد اعلم بالبدريين منه
“Tak ada seorangpun yang lebih mengetahu tentang ahlu Badr
selainnya”
Ia adalah seorang syaikh lama yang
meriwayatkan dari Zaid bin Tsait dan mayoritas shahabat. Secara khusus ia
meriwayatkan dari ayahnya Sa’id bin Sa’d bin Ubadah al-Khazraji yang memiliki
perhatian untuk mengumpulkan pengetahuan kesejarahan tentang Maghazi.
Beberapa data yang dikumpulkannya terdapat di Musnad Ahmad dan Tarikh Thabari.
Syurahbil berpegang pada data ini dalam tulisannya hingga ia mengikuti jalan
keluarganya dalam perhatian terhadap Maghazi, karena kakeknya, Sa’d bin
Ubadah dikenal memiliki tulisan yang masih bertahan hingga abad ketiga Hijriyah
sebagaimana disebut dalam karya Tirmidzi. Muhammad bin Thalhah at-Thawil
menyebut bahwa Syurahbil menyiapkan semacam tabel shahabat yang ikut dalam
perang Badar dan Uhud, meski terkadang terlalu melebih-lebihkan.
4) Ashim bin Amru
bin Qatadhah al-Madani
Ashim bin Amru bin Qatadhah al-Madani
meriwatkan dari beberapa shahabat seperti Jabir (bin Abdillah), dan Anas (bin
Malik). Yang meriwatkan darinya diantaranya Bukair bin Asaj, Ibnu Ajlan, Ibnu
Ishaq dan lainnya. Ia seorang alim dalam
Sirah Nabawiyah, orang yang tsiqat, dan hadistnya banyak. Ibnu Ishaq
banyak bersandar pada riwayat darinya.
Khalifah Umar bin Abd al-Aziz (101 H)
menunjuknya untuk meriwayatkan Maghazi Rasulullah dan manaqib shahabat
di Masjid Umawi di Damaskus. Ia kemudian kembali ke Madinah hingga wafat tahun
123 H.
5) Muhammad bin
Syihab az-Zuhri
Muhammad bin Syihab az-Zuhri adalah
salah satu muhaddist terbesar di masanya, ia dianggap tsiqat oleh
pemuka jarh wa ta’dil. Para ulama memuji kekuatan pemahaman dan keluasan
ilmunya. Ia orang pertama yang menggunakan metode mengumpulkan sanad hadist
yang berlainan untuk menyempurnakan konteks hadist dan menyambung hadist tanpa
terpotong oleh sanad. Ibnu Syihab adalah orang tekun dalam sejarah Islam,
hadist, dan fiqh. Ia menulis berdasar apa yang ia dengar dan ia kumpulkan dari masyayikhnya.
Abu Zinad mengatakan tentangnya:“Kami mengelilingi ulama bersama Zuhri dan
ia membawa lembaran dan buku untuk mencatat yang ia dengar”.
Zuhri orang yang sangat giat dalam
menuntut ilmu hingga kemudian menjadi referensi ulama Hijaz dan Syam, Laits bin
Sa’d mengatakan tentangnya: “Aku tidak melihat seorang alim pun yang lebih
(banyak) mengumpulkan (ilmu) dari Zuhri, jika ia meriwayatkan tentang
targhib engkau akan mengatakan: Tidak ada yang sebaik ini kecuali orang ini.
Jika meriwayatkan tentang Arab dan ilmu nasab engkau akan mengatakan: tidak ada
yang sebaik ini. Jika meriwayatkan tentang al-Qur’an engkau juga akan
mengatakan demikian”.
Hal itu menjadikan tulisan dan ilmunya
kumpulan besar yang kemudian masuk ke istana para khalifah Umawiyah. Khalifah
Hisyam bin Abd al-Malik (105-125 H) memerintahkan dua orang juru tulisnya untuk
membersamai Zuhri, keduanya mengikuti majelis Zuhri selama setahun, jerih payah
itu kemudian diletakkan di simpanan koleksi Hisyam. Diceritakan bahwa ketika
Walid bin Yazid (126 H) terbunuh banyak catatan dari simpanan koleksi Walid
dibawa kendaraan yang memuat ilmu Zuhri.
6) Musa bin Uqbah
Nama terakhir adalah Musa bin Uqbah
al-Asadi karena ia adalah mawla keluarga Zubair bin Awwam. Musa adalah
muhaddist tsiqat, dan termasuk murid Zuhri. Imam Malik memuji karya
Musa, al-Maghazi dengan mengatakan: “Sungguh kitab itu adalah Maghazi
paling sahih”. Yahya bin Main mengatakan: “Kitab Musa bin Uqbah dari
Zuhri termasuk yang paling sahih (dari) kitab-kitab (Maghazi)”.
Musa bin Uqbah tinggah di Madinah,
dimana ia memiliki majlis di Masjid Nabawi dan ia memberikan ijazah ilmiyah
dalam majlisnya. Nampaknya, Imam Bukhari mengambil faidah dari Maghazinya
dalam karyanya Sahih Bukhari. Ibnu Abd al-Barr meringkas Maghazi ini dan
memberinya judul “ad-Durar fi Ikhtisar al-Maghazi wa Siyar” sebagaimana
Ibnu Hajar menggunakan buku ini dalam penyusunan karyanya “al-Ishabah
fi Tamyiz ash-Shahabah”.
Tokoh-tokoh di atas adalah pionir
penulisan Sirah Nabawiyah di tempat asalnya, Madinah. Nampak jelas dari
penilaian ulama jarh wa ta’dil akan ke-tsiqat-an mereka yang menunjukkan
bahwa mereka semua memiliki sifat adalah
dan dzabt.
Kedua syarat ini menjadi standar penilaian tsiqatnya perawi. Sifat adalah
yang melekat pada mereka semua –meski ketatnya penilaian ulama jarh wa
ta’dil – memberikan nilai ilmiah yang besar bagi karya yang mereka
hasilkan.
Hal ini menjadi bukti yang terang bahwa
Allah Azza wa Jalla menjaga Sirah Nabawiyah dari kelenyapan, distorsi,
dan hal-hal yang melebih-lebihkan dengan adanya muhadditsin terkemuka untuk
memperhatikannya dan mengkodifikasikan pondasinya sebelum berpindah ke tangan
sejarawan dan tukang cerita. Selesai.
Ngangkruk, Kamis 18 Jumada al-Akhir 1440 H/21 Februari 2019
pkl. 21.30 WIB