Kamis, 28 Februari 2019

Kerajaan Islam di Bari Italia




Kaum Muslim berhasil mendirikan keemiran Islam di jantung Italia, markaz kepausan Katolik. Keemiran ini bertahan sekitar 25 tahun (232 H/847 M – 257 H/871 M), keemiran ini bergantian dipegang oleh tiga penguasa. Posisi keemiran ini ada di Bari di region Apulia (dekat dengan Laut Adriatik).
Keemiran ini sama sekali dilupakan, karena diabaikan banyak referensi sehingga menjadi tidak terkenal. Padahal ini merupakan petualangan yang berani menurut ukuran apapun, tujuannya untuk meluaskan Islam hingga ke Eropa.

Sumber: Byzantine oleh Baz al-Uraini.
Sumber penulis: Kunnasyah Beiruti,25 Februari 2019. 

Khadzabandah dan Ibnu Muthahhir; Selangkah Menuju Syiahnya Iran dan Khurasan


                                                 gambar dari tajikam.com


                                    Oleh: Muhibbuddin al-Khatib[1] (1369)

Khadzabandah adalah nama Persia  yang berasal dari kalimat khadza yang bermakna Allah dan Bandah yang bermakna hamba sehingga makna nama ini adalah Abdullah, hamba Allah.
Khadzabandah ini adalah penguasa Ilkhan yang kedelapan dan keturunan keenam dari Jengiz, nama aslinya Jaitu (680-716) bin Argun (690) bin Abgha (681) bin Hulagu (663) bin Touli (628) bin Jengiz (Khan), sang penumpah darah (549-624) yang bergelar Ilkhan, kepadanyalah dinisbatkan negaranya.
Arghun; ayahnya, seorang pagan. Ia membelot di Khurasan atas pamannya; Teghudar bin Hulaghu karena ia melihat kepentingan politiknya mengharuskan ia masuk Islam dan mengubah namanya menjadi Ahmad Teghudar sehingga  Arghun; ayah Khadzabandah hingga ia berhasil membunuhTeghudar tahun 683 H dan memguasai kerajaan Teghudar. Ia menuduh vizier ayahnya Syamsuddin al-Muhammadi telah meletakkan racun yang membunuh Abgha; ayahnya. Ia  kemudian membunuh vizier ini dan empat anaknya. Ia kemudian meninggalkan kekuasaannya untuk menurutkan syahwat pribadinya dan menyerahkan urusan kekuasaan kepada tabibnya yang Yahudi, Sa’d ad-Daulah. Tabib Yahudi ini kemudian melampau, berperilaku buruk,  menimbulkan kekacauan dan kerusakan yang menjadikan pemuka dan pegawai negara membelot dan membunuhnya. Arghun kemudian mati terkalahkan tahun 690. Argun ini memiliki dua anak, Jaitu (Khadzabandah) dan Ghazan (670-703). Keduanya memandang bahwa kepentingan politik mereka menuntut mereka masuk Islam dan berperilaku baik terhadap rakyatnya. Ghazan ini memilih madzhab Ahlu Sunnah dengan masuk Islam pada 4 Sya’ban 694, keislamannya ini di tangan Syaikh Ibrahim bin Muhammad Hamawaih al-Juwaini (Raudhah al-Jannat, hlm. 48). Ketika Jaitu ini menggantikan Ghazan tahun 703, orang-orang terdekatnya dipenuhi da’i-da’i Syiah.
Dikatakan pada suatu hari ia marah pada istrinya sehingga ia menalaknya tiga kali, namun ia kemudian ingin rujuk. Maka para fuqaha Ahlu Sunnah mengatakan padanya bahwa tidak ada jalan untuk rujuk wanita itu menikah dengan yang lain. Ia berat menghadapi masalah ini, hingga kemudian salah satu orang terdekatnya yang Syi’ah untuk mengundang seorang faqih Syi’ah dari kota Khillah yaitu Ibnu Muthahhir[2] ini dimana Syaikh al-Islam Ibnu Taimiyah menulis bantahan terhadapnya dalam Minhaj Sunnah ini. Orang-orang terdekatnya mastikan bahwa Ibnu Muthahhir ini yang akan melepaskannya dari kesulitan ini, ketika Ibnu Muthahhir datang Sultan meminta fatwa  kepadanya terkait talaknya yang sudah tiga kali. Ibnu Muthahhir mengatakan kepadanya: Apakah ketika engkau menalaknya dipersaksikan dua saksi yang adil?, Sultan menjawab: Tidak. Maka Ibnu Muthahhir berfatwa bahwa talak ini belum terpenuhi syaratnya sehingga tidak teranggap jatuh talak tiga sehingga ia bisa berkumpul dengan istrinya sebagaimana sebelum talak. Khadzabandah gembira dengan fatwa ini hingga ia meminta agar Ibnu Muthahhir menjadi orang dekatnya. Dengan usaha Ibnu Muthahhir inilah Khadzabandah kemudian memerintahkan para gubernurnya untuk berkhutbah di mimbar dan menyebut para imam yang dua belas, dan mengukir nama mereka dalam mata uang, dan memahat namanya di masjid-masjid. Negara ini kemudian tersyiahkan dengan fatwa Ibnu Muthahhir yang tidak membolehkan kembali pada istrinya meskipun sudah jatuh talak tiga tanpa harus menikahi laki-laki lain terlebih dahulu.
Hal ini langkah pertama untuk mensyi’ahkan Khurasan dan Iran. Dikatakan bahwa hal ini terjadi tahun 707 H. Langkah selanjutnya terjadi terjadi 300 tahun setelahnya yang mendorong Iran ke neraka dengan berdirinya Daulah Shafawiyah (1501-1760 M)[3] dengan mendukung pendapat yang dianggap ghuluw oleh Syi’ah terdahulu dan mengingkari riwayat yang menyebut setiap orang Syi’ah seperti ini sebagai orang yang ghuluw.  Ketika Shafawiyah yang kriminil ini kekuasaannya kuat, berubahlah semua Syiah menjadi ghulat (kelompok yang ghuluw) setelah sebelumnya hal seperti ini diangkap sebagai suatu ghuluw sehingga hal ini menjadi salah satu dasar penting madzhab  mereka sebagaimana disebut Allamah mereka yang kedua, al-Mamaqani (1290-1351) dalam beberapa tempat di karyanya (Tanqih al-Maqal) yang merupakan kitab terbesar mereka dalam Jarh wa Ta’dil.

Ngangkruk, Kamis, 24 Jumada al-Akhir 1440 H/28 Februari 2019 M pkl. 13.32 WIB.




[1] Dzahabi, Mukhtashar Minhaj Sunnah, tahqiq dan ta’liq Muhibbuddin al-Khatib, (Riyadh:Wikalah Mathbu’ah wa Tarjamah Riasah al-Amah li Idarah al-Buhuts al-Ilmiyah wa al-Ifta wa ad-Dakwah wa al-Irsyad), hlm. 20-21.
[2] Hasan bin Muthahhir bin Yusuf bin Ali al-Khilli (648-726), salah satu pembesar Syiah, ia berguru kepada semacam Nashir Thusi (597-672), wazir atheis pembela kekufuran (yang bertanggungjawab atas kejatuhan Baghdad di tangan Mongol dengan pengkhianatannya,pen.). Maka ia tumbuh dengan penuhnya hati dengan kebencian kepada shahabat dan tabi’in, mendebat dengan mata kemurkaan semua kebaikan mereka yang belum pernah ada  bandingannya dalam sejarah manusia. Anda akan mendapati bukti kedengkian ini dalam tulisannya yang kemudian dimentahkan dan disingkap kedoknya oleh Syaikh al-Islam (Ibnu Taimiyah) dan menjadi pelajaran bagi yang terdahulu dan terkemudian. Ibid, hlm. 19.
[3] Negara ini menjadi contoh paripurna bagi Syiah Itsna Asyariah dalam menegakkan negara ideal menurut paham mereka, bagi penulis Revolusi Khomenei tahun 1979 M bisa dianggap sebagai langkah ketiga mensyiahkan Iran, bahkan nampak sekali usaha “mengekspor” revolusi ini ke berbagai negara. Irak, Yaman, dan Bahrain menjadi contoh mudah dalam masalah ini. Belum lagi meningkatnya suhu politik di Arab karena politik Iran yang agresif.

Rabu, 27 Februari 2019

Penghormatan Abbasiyah terhadap Muawiyah bin Abi Sufyan radhiyallahuanhuma



Gambar dari mvslim.com
Model Baghdad masa Abbasiyah


Sikap umum Abbasiyah terhadap Umawiyah tentu saja sikap permusuhan, dan bentuk permusuhan tersebut bentuknya bermacam-macam. Terdapat pembunuhan walaupun yang mayoritas dibunuh adalah cabang Marwaniah dan bukan sufyaniah, mungkan karena penguasa Daulah Umawiyah dimulai dari  Marwan bin Hakam adalah anak cucunya sendirinya. Hal itu pula yang menjadikan Abdurrahman bin Muawiyah bin Hisyam bin Abdul Malik[1] yang berhasil lolos hingga ke Andalus dan kemudian mendirikan Daulah Umawiyah II yang berpusat di Cordoba Spanyol.
Namun yang menarik, adalah kisah yang dituliskan Ibnu al-Arabi al-Andalusi (468-543 H) yang datang ke Baghdad masa ia menuntut ilmu.
Mari menyimak penuturannya[2]:
“Kota Salam (Baghdad) ini[3], ibukota Khilafah Abbasiyah –dan (hubungan) antara mereka dengan Bani Umayyah manusia sudah mengetahuinya- tertulis di pintu-pintu masjidnya” Sebaik-baik manusia setelah Rasulullah adalah Abu Bakar, kemudian Umar, kemudian Usman, kemudian Ali, kemudian Muawiyah[4] pamandanya kaum Mukminin radhiyallahuanhum”.
Muhaqqiq buku itu, Muhibuddin al-Khatib (1389 H) memberikan komentarnya:
“Penulis (Ibnu al-Arabi) tinggal di Baghdad masa Daulah Abbasiyah sebagaimana sudah kami tuliskan dalam biografinya, sehingga ia mengetahui masjid-masjidnya dengan mata kepalanya sendiri. Muawiyah sendiri dsebut pamandanya kaum Mukminin karena ia adalah saudara dari Ibundanya kau Mukminin, Romlah bin Abi Sufyan yang terkenal dengan  kunyahnya yaitu Ummu Habibah[5]”.
Wallahua’lam.

Ngangkruk, Ahad, 20 Jumada al-Akhir 1440 H/24 Februari 2019 M pkl. 10.37 WIB.



[1] Ia kemudian lebih dikenal kemudian dengan Abdurrahman ad-Dakhil, Abu Ja’far al-Manshur, khalifah Abbasiyah menjulukinya dengan Shaqr Qurays (Elang Qurays), mungkin karena ulet dan sulitnya al-Manshur menundukkan ad-Dakhil.
[2] Ibnu al-Arabi al-Andalusi, al-Awashim min al-Qawashim, tahqiq Muhibuddin al-Khatib, (Kairo: Maktabah Salafiyah, Cet. 2, 1396 H), hlm. 213.
[3] Menurut penuturan al-Khatib sendiri dalam mukaddimah tahqiqnya (hlm. 17) bahwa Ibnu al-Arabi datang ke Baghdad dua kali, kali pertama masa Khalifah al-Muqtadi dan al-Mustadzhir. Nampaknya, Ibnu al-Arabi tinggal di Baghdad, sehingga kedatangannya yang kedua karena terpotong perjalanan hajinya sekitar tahun 489 H hingga kemudian mukim sekian lama, ada kemungkinan sekitar setahun di Makkah. Ia kemudian kembali ke Baghdad hingga tinggal di Baghdad sekitar 2 tahun dan memutuskan kembali ke Sevilla melewati Damaskus, Palestine dan kemudian bertolak menuju Sevilla dari Iskandariah pada 493 H (hlm. 22-23).
[4] Maksud penyebutan Muawiyah setelah Ali bukan bermakna urutan keutamaannya dalam Islam, namun bermakna termasuk shahabat yang mulia setelah Ali, hal itu karena shahabat termulia setelah Ali adalah 10 orang yang dijamin masuk surga oleh Rasulullah, yaitu: 1) Abu Bakar, 2) Umar bin Khathhab, 3) Usman bin Affan, 4) Ali bin Abi Thalib, 5) Thalhah bin Ubaidillah 6) Sa’d bin Abi Waqqash,  7) Abu Ubaidah ‘Amir bin al-Jarrah, 9) Abdurrahman  bin Auf, 10) Said bin Zaid. Baru kemudian dilanjutkan dengan urutan setelahnya semisal As-Sabiqun al-Awwalun, Ahlu Badr, dan lainnya. Sedangkan Muawiyah masuk Islam ketika Fath Makkah (8 H), atau semaju-majunya pada Umrah al-Qadha’ (7 H) dalam satu pendapat lain.
[5] Ibnu al-Arabi al-Andalusi, al-Awashim min al-Qawashim, hlm. 213.


Minggu, 24 Februari 2019

Orang dibunuh karena bernama Umar!



Muhibbuddin al-Khatib (1453-1389 H) adalah seorang penulis, jurnalis, alim yang memiliki semangat besar untuk mengenal umat Islam dengan masa lalunya yang gemilang, ia menceritakan kisahnya di penjara Bashrah[1]:
Ada beberapa orang yang aku temui menceritakan kepadaku di perbatasan Bashrah ketika aku dipenjara di Rumah Tahanan Inggris tahun 1332 H, bahwa seorang Arab yang ia kenal berpindah di antara beberapa desa di Iran kemudian dibunuh oleh penduduk desa ketika mereka tahu bahwa namanya (Umar). Aku mengatakan: “Apa masalahnya dengan namanya (Umar)?”. Mereka menjawab: “Kecintaan kepada Amir al-Mukminin Ali (menjadikan mereka membunuh orang bernama Umar tersebut)”.  
No Comment!

Wallahua’lam

Ngangkruk, Ahad, 20 Jumada al-Akhir 1440 H/24 Februari 2019 M pkl. 11.14 WIB.



[1] Muhibbuddin al-Khatib, Hamlah Risalah al-Islam al-Awwalun wa Ma Kaanu Min al-Mahabbah wa at-Ta’awun ‘ala al-Haq wa Kaifa Syawwaha al-Mughridun Jamal Siratihim, tahqiq Muhammad bin Shamil as-Sullami, (versi elektronik dari ktibat.com), hlm. 26.

Sabtu, 23 Februari 2019

Sejarah Sirah Nabawiyah dan Maghazi di Hijaz


gambar dari mawdoo3.com


Oleh: Dr. Mohammed Amahzun[1]

Kecenderungan untuk mengumpulkan dan menjaga pengetahuan telah terbukti adanya pada masa awal Islam, hal itu dimulai ketika para shahabat dan tabi’in senior masih hidup. Berdasarkan beberapa data yang ada, nampak bahwa shahabat dan tabi’in memiliki kesadaran sejarah, sehingga pengetahuan dan kenangan di ingatan mereka kemudian dituangkan di tulisan hingga dokumentasi itu tetap terjaga walau penulisnya telah tiada.
Waqidi telah menggunakan beberapa tulisan shahabat yang kemudian ia cantumkan dalam karyanya al-Maghazi. Beberapa referensi yang ia gunakan diantaranya adalah tulisan tangan Sahl bin Abi Khatmah al-Anshari yang wafat masa kekuasaan Muawiyah bn Abi Sufyan. Beberapa data masih tersimpan di tangan cucunya, Muhammad bin Yahya. Dari Muhammad inilah Waqidi mencantumkan sumber tersebut dalam al-Maghazi. Nukilan itu cukup memberi gambaran akan perhatian Sahl dengan Maghazi Rasulullah.
Nukilan lain yang bisa disebutkan adalah catatan ‘Ala bin al-Hadrami yang memberi contoh lain bahwa sebagian shahabat biasa menuliskan ingatan mereka tentang Sirah Rasulullah.
Namun yang pasti, kitab khusus tentang Sirah Nabawiyah baru dituliskan masa tabi’in dimana sebagian shahabat masaih hidup pada waktu itu dan tidak dikenal pengingkaran mereka akan hal tersebut yang menunjukkan persetujuan mereka akan tulisan tersebut.
Shahabat memiliki pengetahuan yang luas dan rinci tentang Sirah, karena mereka hidup dan ikut serta dalam peristiwa tersebut. Kecintaan, keterikatan, hasrat kuat mereka untuk ittiba’, usaha mereka mereka untuk mengambil sunnah Rasulullah dalam hukum menjadikan Sirah Nabawiyah tersebar, diingat, dan terjaga di tangan para shahabat.
Hal penting yang perlu disebutkan, bahwa penulisan Sirah yang muncul sejak dini ini sangat kecil masuknya kemungkinan distorsi, melebih-lebihkan, menakut-nakuti, lupa atau hilangnya data.
Termasuk dari para pendahulu dari kalangan  tabi’in yang menuliskan Sirah Nabawiyah diantaranya: 1) Urwah bin Zubair (14 H), 2) Aban bin Usman bin Affan (105 H), 3) Syurahbil bin Sa’id (123 H), 4) Muhammad bin Syihab az-Zuhri (124 H). 5) Ashim bin Amru bin Qatadah (129 H), 6) Musa bin Uqbah (141 H).
Mereka semua adalah penduduk Madinah, dan jelas jika mereka terpengaruh besar dengan adat kebiasaan di Madinah yang mengedepankan hadist. Sehingga alami sekali jika Sirah Nabawiyah muncul di Madinah, karena penduduknya telah menolong dan melindungi Islam sehingga Sirah Nabawiyah memiliki ciri khas umum Madinah dan Hijaz yang memiliki kecenderungan besar terhadap hadist, riwayat, tadqiq (pemastian riwayat), dan penjagaan riwayat.

1) Urwah bin Zubair
Urwah bin Zubair termasuk dari fuqaha Madinah yang tujuh, ia fokus untuk belajar dan memberi perhatian besar terhadap hadist, Sirah Nabawiyah, dan Maghazi.
Ibnu Syihab az-Zuhri mengatakan tentangnya:
رأيت عروة بحراً لا تكدره الدلاء
 Aku melihat Urwah bagikan laut yang tak keruh meski orang membanggakan ilmunya”.       
Urwah meriwayatkan dari bibinya sendiri, Aisyah ash-Shiddiqoh, Abu Hurairah, dan yang semisalnya. Yang  meriwayatkan darinya adalah Habib bin Abi Tsabit, Khalid bin Abi Imran (Qadhi Tunis), Abu Zinad, Az-Zuhri dan lainnya. Beberapa bukunya bisa dinikmati sampai sekarang melalui riwayat yang terserak di karya Muhammad bin Ishaq, Waqidi, Thabari dan lainnya. Karya Urwah adalah karya tertulis paling awal yang sampai ke masa sekarang dari Maghazi.

2) Aban bin Usman bin Affan
Aban bin Usman bin Affan, meski ia ikut serta dalam pemerintahan semisal menjadi amir Madinah masa Abd al-Malik bin Marwan (65-86 H) namun ia lebih cenderung untuk menyibukkan diri dengan ilmu, karena itu ia dianggap salah satu dari fuqaha Madinah yang tujuh, termasuk dari orang pertama yang menuliskan Maghazi dan hadist. Namun para sejarawan belum menukil tulisannya, kecuali  yang dilakukan oleh Ya’qubi dalam Tarikhnya.

3) Syurahbil bin Sa’id
Syurahbil bin Sa’id juga memiliki kecenderungan ini, ia termasuk salah satu ulama dan penulis awal tentang Maghazi. Sufyan ats-Tsauri mengatakan tentangnya:
لم يكن أحد اعلم بالبدريين منه 
“Tak ada seorangpun yang lebih mengetahu tentang ahlu Badr selainnya”
Ia adalah seorang syaikh lama yang meriwayatkan dari Zaid bin Tsait dan mayoritas shahabat. Secara khusus ia meriwayatkan dari ayahnya Sa’id bin Sa’d bin Ubadah al-Khazraji yang memiliki perhatian untuk mengumpulkan pengetahuan kesejarahan tentang Maghazi. Beberapa data yang dikumpulkannya terdapat di Musnad Ahmad dan Tarikh Thabari. Syurahbil berpegang pada data ini dalam tulisannya hingga ia mengikuti jalan keluarganya dalam perhatian terhadap Maghazi, karena kakeknya, Sa’d bin Ubadah dikenal memiliki tulisan yang masih bertahan hingga abad ketiga Hijriyah sebagaimana disebut dalam karya Tirmidzi. Muhammad bin Thalhah at-Thawil menyebut bahwa Syurahbil menyiapkan semacam tabel shahabat yang ikut dalam perang Badar dan Uhud, meski terkadang terlalu melebih-lebihkan.

4) Ashim bin Amru bin Qatadhah al-Madani
Ashim bin Amru bin Qatadhah al-Madani meriwatkan dari beberapa shahabat seperti Jabir (bin Abdillah), dan Anas (bin Malik). Yang meriwatkan darinya diantaranya Bukair bin Asaj, Ibnu Ajlan, Ibnu Ishaq dan lainnya.  Ia seorang alim dalam Sirah Nabawiyah, orang yang tsiqat, dan hadistnya banyak. Ibnu Ishaq banyak bersandar pada riwayat darinya.
Khalifah Umar bin Abd al-Aziz (101 H) menunjuknya untuk meriwayatkan Maghazi Rasulullah dan manaqib shahabat di Masjid Umawi di Damaskus. Ia kemudian kembali ke Madinah hingga wafat tahun 123 H.

5) Muhammad bin Syihab az-Zuhri
Muhammad bin Syihab az-Zuhri adalah salah satu muhaddist terbesar di masanya, ia dianggap tsiqat oleh pemuka jarh wa ta’dil. Para ulama memuji kekuatan pemahaman dan keluasan ilmunya. Ia orang pertama yang menggunakan metode mengumpulkan sanad hadist yang berlainan untuk menyempurnakan konteks hadist dan menyambung hadist tanpa terpotong oleh sanad. Ibnu Syihab adalah orang tekun dalam sejarah Islam, hadist, dan fiqh. Ia menulis berdasar apa yang ia dengar dan ia kumpulkan dari masyayikhnya. Abu Zinad mengatakan tentangnya:“Kami mengelilingi ulama bersama Zuhri dan ia membawa lembaran dan buku untuk mencatat yang ia dengar”.
Zuhri orang yang sangat giat dalam menuntut ilmu hingga kemudian menjadi referensi ulama Hijaz dan Syam, Laits bin Sa’d mengatakan tentangnya: “Aku tidak melihat seorang alim pun yang lebih (banyak) mengumpulkan (ilmu) dari Zuhri, jika ia meriwayatkan tentang targhib engkau akan mengatakan: Tidak ada yang sebaik ini kecuali orang ini. Jika meriwayatkan tentang Arab dan ilmu nasab engkau akan mengatakan: tidak ada yang sebaik ini. Jika meriwayatkan tentang al-Qur’an engkau juga akan mengatakan demikian”.
Hal itu menjadikan tulisan dan ilmunya kumpulan besar yang kemudian masuk ke istana para khalifah Umawiyah. Khalifah Hisyam bin Abd al-Malik (105-125 H) memerintahkan dua orang juru tulisnya untuk membersamai Zuhri, keduanya mengikuti majelis Zuhri selama setahun, jerih payah itu kemudian diletakkan di simpanan koleksi Hisyam. Diceritakan bahwa ketika Walid bin Yazid (126 H) terbunuh banyak catatan dari simpanan koleksi Walid dibawa kendaraan yang memuat ilmu Zuhri.

6) Musa bin Uqbah
Nama terakhir adalah Musa bin Uqbah al-Asadi karena ia adalah mawla keluarga Zubair bin Awwam. Musa adalah muhaddist tsiqat, dan termasuk murid Zuhri. Imam Malik memuji karya Musa, al-Maghazi dengan mengatakan: “Sungguh kitab itu adalah Maghazi paling sahih”. Yahya bin Main mengatakan: “Kitab Musa bin Uqbah dari Zuhri termasuk yang paling sahih (dari) kitab-kitab (Maghazi)”.
Musa bin Uqbah tinggah di Madinah, dimana ia memiliki majlis di Masjid Nabawi dan ia memberikan ijazah ilmiyah dalam majlisnya. Nampaknya, Imam Bukhari mengambil faidah dari Maghazinya dalam karyanya Sahih Bukhari. Ibnu Abd al-Barr meringkas Maghazi ini dan memberinya judul “ad-Durar fi Ikhtisar al-Maghazi wa Siyar” sebagaimana Ibnu Hajar menggunakan buku ini dalam penyusunan karyanya “al-Ishabah fi Tamyiz ash-Shahabah”.
Tokoh-tokoh di atas adalah pionir penulisan Sirah Nabawiyah di tempat asalnya, Madinah. Nampak jelas dari penilaian ulama jarh wa ta’dil akan ke-tsiqat-an mereka yang menunjukkan bahwa mereka semua memiliki sifat adalah[2] dan dzabt[3]. Kedua syarat ini menjadi standar penilaian tsiqatnya perawi. Sifat adalah yang melekat pada mereka semua –meski ketatnya penilaian ulama jarh wa ta’dil – memberikan nilai ilmiah yang besar bagi karya yang mereka hasilkan.
Hal ini menjadi bukti yang terang bahwa Allah Azza wa Jalla menjaga Sirah Nabawiyah dari kelenyapan, distorsi, dan hal-hal yang melebih-lebihkan dengan adanya muhadditsin terkemuka untuk memperhatikannya dan mengkodifikasikan pondasinya sebelum berpindah ke tangan sejarawan dan tukang cerita. Selesai.

Ngangkruk, Kamis 18 Jumada al-Akhir 1440 H/21 Februari 2019 pkl. 21.30 WIB



* Makalah ini diterjemahkan bebas dari al-Harakah al-Ilmiah fi Bilad al-Hijaz fi Ashr al-Umawi dalam Abhats fi ad-Dakwah wa at-Tarikh wa al-Ijtima’, (Kairo: Dar as-Salam, Cet. 1, 1429 H), hlm. 71-78. Judul di atas dari penerjemah.
[1] Penulis buku tahqiq Mawaqif Shahabat fi al-Fitnah min Riwayat ath-Thabari wa al-Muhadditsin.
[2] Sifat yang membawa pemiliknya untuk menetapi takwa dan muru’ah. Ibnu Hajar, Nuzhah an-Nadzr fi Taudhih Nukhbah al-Fikar, tahqiq Nuruddin ‘Itr, (Kairo: Dar al-Bashair, Cet. 1, 1432 H), hlm. 58.
[3] Dzabt ini ada dua; hafalan di dadanya dan catatan. Untuk jenis pertama maksudnya memastikan hadist yang ia dengar sehingga ia mampu menghadirkan hafalan hadistnya kapan pun ia mau. Jenis kedua yaitu dzabt kitabah, maksudnya terjaganya (catatan)nya sejak ia dengar hadist tersebut, ia tashih hingga ia transmisikan/sampaikan hadist tersebut. Jika sifat ini ditambahkan dengan tamm (sempurna) maka maksudnya, pemiliknya telah sampai pada tingkat dzabt tertinggi. Ibid, hlm. 58-59.    

Jumat, 22 Februari 2019

Tiada Satupun Hadist yang Sah tentang Keutamaan Muawiyah?



gambar dari mqaal.com

Sebagian orang mengatakan demikian dengan mendasarkanya pada perkataan Ishaq bin Rahawaih:
لا يصح عن النبي فى فضل معاوية بن ابي سفيان شيئ
Tidak sah satu hadist pun dari Rasulullah tentang keutamaan Muawiyah[1]
Sontak, perkataan Ibnu Rahawaih ini menjadi angin segar bagi para pembenci shahabat, diantaranya Muawiyah. Hal itu seakan-akan mereka mendapat pembenaran akan celaan mereka kepada Muawiyah.
Perkataan Ibnu Rahawaih ini jika memang benar sanadnya sahih[2], maka hal ini kembali kepada ijtihadnya sendiri[3]. Sebenarnya, terdapat beberapa hadist baik sahih maupun hasan yang menunjukkan keutamaan Muawiyah[4].
Misalkan hadist Rasulullah:
اللهم اجعله هادياً مهدياً واهد به
“Ya Allah, jadikan ia (Muawiyah) pemberi petunjuk, mendapatkan petunjuk, dan orang lain mendapatkan petunjuk dengan (perantaraan)nya[5]”.
Wallahua’lam.

                Ngangkruk,   Sabtu, 19 Jumada al-Akhir 1440 H
                                  Jum’at, 22 Februari 2019 M pkl. 20.59 WIB.





[1] Ibnu al-Jauzi, al-Maudhu’at, 2/24.
[2] Menurut Amru Abd al-Mun’im Salim terdapat salah satu perawi yang paling ringan dianggap majhul, yaitu Ya’qub bin Yusuf bin Ma’qil  Abu al-Fadhl. Lihat Amru Abd al-Mun’im Salim, Tahsil Ma Faata at-Tahdist, (Sharjah, Maktabah al-Umarain al-Ilmiyah, T.t.), hlm. 144.
[3] Sulaiman al-Khurasyi, Mukhtasar Tathir al-Jinan wa al-Lisan, (Riyadh: Dar Ulum as-Sunnah, Cet. 1, 1422 H), hlm. 17.
[4] Lihat kumpulan hadist tersebut dengan takhrij lengkapnya di Sayyid bin Syahhat bin Ramadhan Jum’ah, Syubuhat ‘an Bani Umayyah, (Riyadh: Maktabah Rusyd Nasyirun, Cet. 2, 1435 H), hlm. 310-334.
[5] Tirmidzi, Sunan, hadist (3842). Al-Albani mengatakan: Sahih. Lihat takhrijnya di Silsilah as-Sahihah (1969).

Kamis, 21 Februari 2019

Lu’lu al-Hajib al-Adili


Foto dari jordantimes (Petra File Photo)

Lu’lu al-Hajib al-‘Adili[1], seorang pemuka negara (masa Salahuddin). Ia memiliki peran agung di wilayah pesisir (Mesir dan Syam). Ia termasuk mujahidin garis depan yang bergerak menghadapi pasukan Ifrinj (Salib) yang merangsek menuju Madinah Nabawiyah melalui jalan laut. Dikatakan bahwa Lu’lu’ bergerak dan yakin akan kemenangannya. Ia berangkat membawa rantai sebanyak jumlah pasukan terlaknat sekitar 300 pasukan yang semuanya jawara dari Karak[2], Shoubak[3] dan sekelompok Arab yang murtad.
Lu’lu’ berperang bersama pasukan Arab melawan mereka ketika jarak mereka dengan Madinah tersisa perjalanan sehari. Pasukan kafir tersebut kemudian ditundukkan dan  berlindung di gunung. Maka Lu’lu’ bergerak naik bersama pasukannya. Ada yang mengatakan bahwa ia naik bersama 9 orang saja hingga menggetarkan musuh yang membuat mereka menyerah, Lu’lu’ mengikat erat mereka semua dengan rantai dan membawa mereka ke Mesir. Masuknya Lu’lu’ bersama mereka (ke Mesir) sungguh hari yang bersejarah.
Lu’lu’ ini orang tua yang berasal dari bangsa Armenia yang menjadi budak istana. Ia berkhidmah bersama Salahuddin melayani armada laut. Kemanapun ia pergi (berperang) ia bisa menaklukkan dan meraih kemenangan. Ketika sudah uzur, ia meninggalkan tugas (ketentaraan tersebut). Ia berinfaq beberapa panci makanan dan 12.000 roti per hari[4]. Ia melipatgandakan shadaqah tersebut saat Ramadhan. Ia meninggal pada bulan Shafar.

Ngangkruk, Kamis 17 Jumada al-Akhir 1440 H/21 Februari 2019 pkl. 16.08 WIB




[1] Terinspirasi dari status twitter Ahmad al-‘Iedy (@aleidi2016). Biografi ini dari al-Ibar fi Khobar min Ghubar, Dzahabi, Tahqiq Abu Hajir Muhammad Zaghloul, (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, Cet. 1, 1405 H), 3/123-124.
[2] Karak, atau Kerak, salah satu kota penting di Jordan sekarang. Karak terkenal dengan benteng Karak yang dianggap sebagai salah satu dari tiga benteng terbesar di Syam, dua yang lain di Suriah. Posisi Karak berada sekitar 1000 mpl. Benteng ini dibangun oleh Pagan the Butler sebagai markas wilayahnya. Benteng ini jatuh ke tangan Salahuddin tahun 1188 setelah dikuasai Pasukan Salib selama 46 tahun.
[3] Shoubak, salah kota di Jordan sekarang. Shoubak terkenal dengan benteng Montreal yang dibangun pasukan Salib tahun 1115 yang bisa memutus jalur antara Mesir dengan Syam, benteng ini berada di 1330 mpl. Salahuddin berhasil menguasai benteng ini tahun 1187 M.
[4] Terutama  ketika Mesir dilanda kekeringan.

Rabu, 20 Februari 2019

Antara Sejarah Islam dengan Sejarah Lain




Muhibbuddin al-Khatib (1389 H)

Al-Khatib–rahimahullah- mengatakan[1]:
Perbedaan
Termasuk dari perbedaan yang menakjubkan antara sejarah Islam dengan sejarah umat lainnya, dan sikap umat terhadap sejarahnya dibandingkan dengan sikap umat lain terhadap sejarah kita adalah bahwa sejarah umat ini adalah sejarah yang paling kaya: dari kabar, data, referensi, tanda, isyarat, dan tahqiq[2]. Namun umat ini menjadi yang paling paling sedikit dan paling fakir memanfaatkan kekayaan sejarah ini sebagai petunjuk jalan berdasarkan asasnya yang benar[3].
(Kebalikannya), umat lain telah mengadakan –bahkan dari khayalan[4]- “perpustakaan baru” untuk generasi dan mayoritas pembaca mereka yang penuh “kelezatan” lembaran masa lalu mereka hingga mereka menghubungkan generasi penerus dengan pendahulu mereka dan memudahkan bagi mereka untuk mengambil teladan dari kejayaan para pemuka mereka. Mereka juga membangkitkan gambaran hidup dari masa lalu tersebut yang menjadikan kepala mereka tegak dengan kejayaan mereka, hati mereka penuh dengan pengagungan dan penghormatan dengan mereka, akal mereka menjadi tenang dengan analisa atas tindakan (pendahulu) mereka dan mengambil pelajaran dengan kisah tersebut, dan melanjutkan langkah mereka menuju tujuan yang mereka tetapkan. Selesai.

Ngangkruk, Selasa, 16 Jumada al-Akhir 1440 H/19 Februari 2019 M pkl. 19.47 WIB.


[1] Sebagaimana dimuat di Majalah Azhar tahun 1954 M  hlm. 210 dengan judul dalam makalahnya “Al-Maraji’ al-Ula fi Tarikhina; Tarikh al-Umam wa al-Mulk li Abi Ja’far Muhammad bin Jarir ath- Thabari (224-310 H).
[2] Editing atas karya kesejarahan Islam.
[3] Sejarah adalah masa lalu, masa sekarang, dan masa akan datang. Ia adalah peristiwa masa lalu yang menjadi kenangan dan petunjuk bagi umat masa sekarang dan tetap akan menjadi modal bagi masa akan datang. Namun sayang Sejarah Islam begitu banyak mengalami distorsi, hal itu karena umat kurang mengambil peran untuk memaksimalkan peran sejarawan Muslim yang berakidah lurus dalam menerima sejarah Islam, ketika umat malah cenderung menerima tulisan sejarah Islam karya orientalis dan pengekor hawa nafsu maka gambaran umat akan sejarah pendahulu mereka kemudian berubah, dari kebanggaan menjadi keengganan karena melihat begitu banyak gambaran buruk tentang pendahulu mereka.
[4] Islam mengedepankan kejujuran, karena itu kisah yang ditampilkan adalah kisah nyata dan bukan fiksi. Beda hal dengan peradaban lain yang cenderung biasa menerima cerita fiksi. Adapun kecenderungan sebagian kelompok yang berusaha memfiksikan sejarah Islam, maka ini termasuk hal baru karena persentuhan dengan peradaban lain dimana hal ini belum dikenal pendahulu umat ini. 

Al-Mizzi, Ibnu Taimiyah dan Penjara Ibnu Hajar mengisahkan dalam biografi al-Mizzi bahwa ia pernah mengalami cobaan dengan dipenjara, perist...