Selasa, 17 Mei 2022

Al-Mizzi, Ibnu Taimiyah dan Penjara


Ibnu Hajar mengisahkan dalam biografi al-Mizzi bahwa ia pernah mengalami cobaan dengan dipenjara, peristiwa itu terjadi tahun 705 H, ketika Ibnu Taimiyah -yang akrab dengan al-Mizzi- melakukan munazarah dengan sebagian Syafi'iyyah, dan membahas bersama Shafi al-Hindi dan Ibnu Zamlikani di Qasr Ablaq, al-Mizzi kemudian membacakan (di majelisnya) kitab Khalq Af'alul Ibad karya Imam Bukhari, dimana di dalamnya terdapat fasal yang memuat bantahan terhadap Jahmiyah, sehingga sebagian orang marah, seraya mengatakan: "Kami yang dimaksud dalam fasal ini (mereka merasa dianggap sebagai Jahmiah, pent.)".
Kabar itu kemudian sampai kepada Qadhi Syafi'i kala itu, lalu memerintahkan untuk memenjarakan al-Mizzi. 
Sontak Ibnu Taimiyah mengeluarkan al-Mizzi dari penjara, wakil Sultan di Syam -Afram- marah karena hal ini hingga al-Mizzi dijebloskan lagi ke penjara, baru kemudian dibebaskan kembali. Afram memerintahkan seruan barangsiapa yang berbicara dalam masalah akidah ia akan dibunuh.

Sumber: Durar al-Kaminah, karya Ibnu Hajar, 6/230 (Syamilah)
Bandingkan kisah lengkapnya di Uqud Durriyah, karya Ibnu Abdil Hadi, hlm. 219-221. (Syamilah)

Tepi Sungai Arut Pangkalan Bun, 16 Syawal 1443 H/ 17 Mei 2022 M, pkl. 13.00






Kamis, 06 Februari 2020

Perhatian Para Shahabat dengan Sīrah Nabawiyah



Muhammad bin Ṡāmil as-Sullamī[1]

Data yang ada menunjukkan bahwa banyak shahabat yang telah menuliskan khabar dan memberikan perhatian khusus terhadap Sīrah dan Maghāzī Rasulullah, bahkan mereka mendiktekan hal tersebut kepada murid mereka.
Ibnu Sa’d meriwayatkan dengan sanadnya ke Abu Amru bin Ḥuraiṡ al-Użrī ia mengatakan:”Aku mendapati di kitab ayah-ayahku: Mereka mengatakan: Utusan kami (Bani Użroh) sebanyak 12 orang menemui Rasulullah pada bulan Shaffar tahun 9 H, diantara mereka ada Ḥamzah[2] bin Nu’mān al-Użrī [3].
Ubaidullah bin Abdullah bin ‘Utbah ketika mensifati Abdullah bin Abbās ia mengatakan: “...Pada suatu hari ia tidak menyebutkan kecuali fiqh, hari lainnya takwill (tafsir), hari lainnya maghāzī, hari lainnya syair, hari lainnya Sejarah Arab...[4]”.
Ibnu Abbas ini meninggalkan buku dalam jumlah besar yang disifati dengan (حِمل بعير), beban muatan onta. Buku ini ada di mawla-nya, Kuraib. Lalu, Kuraib menyerahkannya kepada Mūsa bin Uqbah penulis Maghāzī yang masyhur, sebagaimana riwayat Mūsa bin Uqbah yang mengatakan:
وضع عندنا كريب حِملَ بعير أو عِدلَ بعير من كتب ابن عباس، قال: فكان علي بن عبد الله ابن عباس إذا أراد الكتاب كتب إليه ابعث إلي بصحيفة كذا وكذا قال: فينسخها فيبعث عليه بإحداهما
Kuraib menaruh satu muatan atau separuh muatan onta dari kitab-kitab di tempatku. (Musa) mengatakan: Jika Ali bin Abdullah bin Abbas membutuhkan sebuah kitab ia menuliskan kepadanya (Kuraib), kirim kepadaku catatan ini dan ini. Musa mengatakan: Maka (Kuraib) menyalinnya dan mengirimkan kepada Ali yang ia minta[5]”.
Riwayat lain tentang Sirah misalkan dari jalan Amrū bin Syuaib dari ayahya, dari kakeknya, yaitu shahabat yang mulia Abdullah bin ‘Amrū bin Āṣ yang termasuk shahabat terkemuka dalam pembukuan hadist Rasulullah, hingga  ia dikatakan menuliskan semua yang ia dengar dari Rasulullah.
Abu Hurairah mengatakan:
ما من أحد من أصحاب النبي أكثر حديثاً مني إلا ما كان من عبد الله بن عمرو فإنه كان يكتب ولا أكتب
Tidak ada seorang pun dari shahabat Nabi yang yang lebih banyak hadisnya dariku, kecuali yang ada pada Abdullah bin ‘Amrū karena ia menulis sedangkan aku tidak[6]”.
Termasuk kitab yang dimilikinya adalah saḥīfah yang disebut Siddīqah.
Catatan ini kemudian diwarisi cucu-cucunya dan diriwayatkan oleh ‘Amrū bin Syuaib yang menjadikan ulama Jarḥ wa Ta’dīl berbeda pendapat tentang riwayat ‘Amrū bin Syuaib dari ayahnya, dari kakeknya, alasan mereka karena periwayatan tersebut dilakukan dari saḥīfah, karena itu Żahabī mengatakan:”Dan sebagian mereka beralasan karena periwayatannya dari saḥīfah dan diriwayatkan secara wijādah, karena itu dihindari penulis (kitab hadist) Sahih, karena tasḥīf (salah tulis) terjadi karena periwayatan dari suhūf (bentuk jamak dari saḥīfah), dimana hal itu tidak terjadi pada periwayatan musāfahah[7] dengan sama’[8][9].
Riwayat lain yang membuktikan perhatian shahabat dengan Sirah adalah riwayat  Wāki’ dari Abdullah bin Ḥanasy yang mengatakan:
رأيتهم يكتبون على أكفهم بالقصب عند البراء
Aku melihat mereka menuliskan di telapak tangan mereka dengan bambu di (majlis) Barrā (bin ‘Āzib)[10]”.
Hal ini menunjukkan bahwa Barrā bin ‘Āzib radhiyallahuanhu mendiktekan sesuatu kepada yang hadir di majlisnya, karena itu Dr. Muhammad Musṭāfa al-‘A’ẓamī mengatakan bahwa Barrā telah mendiktekan Maghazi Rasulullah dalam jumlah besar dengan dalil apa yang diriwayatkan oleh Abu Ishaq as-Sabi’i dari Barrā bin ‘Āzib tentang Maghāzī. Ia menghitung riwayat as-Sabi’ī dari Barrā bin ‘Āzib di Sahih Bukhari dan mendapati 25 riwayat terkait dengan Sirah Nabawiyah yang mencakup hijrahnya shahabat ke Madinah, hijrahnya Rasulullah, Perang Badr, Uḥud, pembunuhan Abu Rāfi’ sang pemuka Yahudi, Khandaq, Ḥudaibiyyah, Umrah al-Qaḍā, Fatḥu Makkah, dan Ḥunain[11].
Wallahua’lam.


[1] Diolah dari Muhammad bin Ṣāmil as-Sullamī, Manhaj Kitābah Tārikh al-Islamī, , hlm. 327-328.
[2] Ibnu ajar menyebutnya dengan Jamrah (جَمرَة), orang Hijaz pertama yang membawa zakat kaumnya ke Rasulullah. Lihat Ibnu al-Aṡīr, Usdu al-Gābah, hlm. 302; Ibnu ajar, al-Iṣābah, 2/224-225.
[3] Ibnu Sa’d, abaqāt, 1/331.
[4] Ibnu Sa’d, abaqāt, 2/368.
[5] Ibnu Sa’d, abaqāt, 5/293.
[6] Bukhari, Sahih, hadist 2731.
[7] Tatap muka langsung.
[8] Mendengar langsung.
[9] Żahabī, Mizānul I’tidāl, 3/266.
[10] Ibnu Abi Khaiamah, al-Ilmu, hlm. 144; al-Baghdādi, Taqyīdul Ilmi, hlm. 105. Syaikh abiburrahman al-A’ẓamī mengatakan: Maksudnya, mereka menuliskan di telapak tangan mereka jika kertas sudah penuh untuk kemudian dipindah ke kertas lain jika mereka sudah pulang ke rumah mereka.
[11] Muhammad Musṭafa al-A’ẓamī, Maghāzī Rasulillah li Urwah bin Zubair, hlm. 25-26.

Kamis, 19 September 2019

'Tajarrud' antara Islam dan Barat



'Tajarrud' (baca: obyektif) dalam Islam maksudnya bergabungnya ikhlas dan ittiba' (mengikuti perintah Rasulullah), maka tidak cukup ikhlas saja tanpa mengikuti jalan yang haq. Sebagaimana tidak cukup hanya ittiba' tanpa ikhlas hanya kepada Allah dan mengharap ridha-Nya.
Adapun 'tajarrud' menurut Barat sebatas ikhlas (dan tunduk) ke hukum akal.
(As-Sullami, Manhaj Kitabati Tarikh al - Islami, hlm. 153).
Bagi penulis, obyektif ala Barat ini lebih tepat disebut bebas nilai atau kosong dari nilai dan membiarkan akal menjadi hakim dan penentu kebenaran.
Jika ditelisik lebih dalam, gagasan ini berujung pada seruan untuk tidak lagi percaya pada nilai agama, atau dengan bahasa lain adalah ajakan pada kekufuran. Pertanyaan yang menggelitik, apakah mungkin ada seseorang yang bisa sama sekali bebas nilai?.
Jawabnya tak ada seorangpun yang mampu melakukannya kecuali mengambil nilai dan keyakinan lainnya.
Allah mengatakan :
 ما جعل الله لرجل من قلبين في جوفيه
"Tidaklah Allah menjadikan bagi seseorang dua hati dalam rongganya" (Al-Ahzab: 4)
Ibnu Taimiyah (Risalah Ubudiyah, hlm. 108 dan 111) mengatakan :
Hati itu secara naluriah membutuhkan penghambaan, jika ia tidak menyembah Allah maka ia akan menyembah selain-Nya.

Mengapa berbeda?
As-Sullami mengatakan:
Sebab perbedaan ini kembali tujuan hidup dan sumber pengetahuan.(As-Sullami, Manhaj Kitabati Tarikh al - Islami, hlm. 153).
Tujuan hidup muslim dengan kafir jelas berbeda, muslim hidup untuk ibadah sedangkan kafir hidup untuk menurutkan hawa nafsunya. Allah berfirman :
  وما خلقت الجن و الإنس إلا ليعبدون 
"Tidaklah Aku ciptakan jin dan manusia kecuali untuk menyembah-Ku"
 (Adz-Dzariyat: 56)
Adapun sumber pengetahuan dalam Islam jelas berbeda dengan Barat. Islam adalah agama risalah yang menjadikan Al-Qur'an dan Sunnah sebagai sumber utama pengambilan hukum dan sumber lainnya yang dibahas Ushul Fiqh.
Sumber Barat berpedoman pada akal dengan menjadikannya sebagai hakim dan penentu kebenaran.
Islam juga percaya dengan hal ghaib yang sumbernya dalil Al-Qur'an dan Sunnah.
Barat tidak percaya dengan hal tersebut karena tidak sesuai menurut akal mereka, namun lucunya mereka percaya dengan dukun, peramal, 'fortuneteller' dan yang terkait dengan perdukunan yang tidak bisa dipastikan kebenarannya.
Karena itu paparan singkat ini menunjukkan perbedaan signifikan antara kedua metode, antara Islam dan Barat. Seorang muslim sejati akan mendahulukan metode orisinil yang sesuai dengan agamanya dan menjauhkan diri dari hal yang tidak selaras dengan agamanya.
Sebagaimana juga jamak diketahui bahwa metode penelitian akan menentukan hasil, karakteristik penelitian dalam khazanah keilmuan Islam berbeda hal dengan khazanah Barat sehingga metode yang dipaksakan ini menjadi salah satu sebab kerusakan khazanah keilmuan Islam.
Wallahua'lam.

Minggu, 25 Agustus 2019

Membedakan Bahrain Kini dan Dulu di Literatur Sejarah Islam


Old Town, Manama Bahrain. Image by Mesh'al Elfayez. Sumber: Trover.com

            Bahrain masa dahulu menurut Yaqut al-Hamawi adalah daerah yang mencakup wilayah di pesisir Samudera Hindia antara Bashrah (di utara) dan Oman (di selatan) di bagian timur Jazirah Arab[1].
Menurut Muhammad Syurrab, Bahrain dulu digunakan untuk menyebut pesisir Nejd antara Qatar dan Kuwait (sekarang). Daerah ini berpusat di Hajar (هَجَر) yang sekarang disebut Hufuf (هُفُوف) hari ini, kadang daerah ini disebut Hasa (الحَسَا) kemudian disebut dengan Ahsa (الأَحسَاء) hingga akhir masa Turki Usmani[2].
Mayoritas peristiwa yang disebut Sirah Nabawiyah tentang Bahrain, maka yang dimaksud adalah bagian Timur Kerajaan Saudi Arabia[3].
Adapun masa sekarang, istilah Bahrain yang dimaksud adalah pulau besar yang menghadap pesisir ini (Jazirah Arab) yang dulu disebut dengan pulau Uwal (أُوَال), yaitu keemiran Bahrain sekarang[4].
Negara ini adalah negara kepulauan yang terletak di arah timur laut Jazirah Arab yang meliputi pulau utamanya yaitu Bahrain dan pulau-pulau sekitarnya seperti Ummu Nasan dan Muharraq dengan ibukotanya Manama yang terletak di sebelah timur dari pulau utama Bahrain.  
Sejak 1986 dibuka Jembatan Raja Fahd sepanjang 24 km yang menghubungkan antara Bahrain dengan Jazirah Arab yang notabene masuk wilayah Saudi Arabia. Jembatan ini didanai Saudi, infrastruktur ini jelas mempererat hubungan antara kedua negara teluk ini.
Wallahua’lam.


                [1] Yaqut al-Hamawi, Mu’jam al-Buldan, tahqiq Farid Abdul Aziz Jundi, (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, Tanpa Tahun), 1/412.
                [2] Muhammad Hasan Syurrab, al-Ma’aalim al-Atsirah fi as-Sunnah wa as-Sirah, (Damaskus: Dar al-Qalam; Beirut: Dar asy-Syamiyah, Cet. 1, 1411 H), hlm. 44.
                [3] Muhammad Hasan Syurrab, , al-Ma’aalim al-Atsirah, hlm. 44.
                [4] Muhammad Hasan Syurrab, , al-Ma’aalim al-Atsirah, hlm. 44.

Senin, 19 Agustus 2019

Islam, Kertas dan Buku


Manuskrip Gharib al-Hadist karya Abu Ubaid Qasim bin Sallam. Gambar: muslimheritage 




Inovasi kertas umat Islam
H. S. Williams dalam The Historians History of The World[1] mengatakan:
“It was the same with the paper: the invention of paper opened up anew era for civilization. The diffusion of cheap books and the popularization of learning and printing have became possible only since the Arabs replace the parchment of the ancient world and the silk paper if the Chinese by ordinary paper such as we know it today. In the thirteenth century Arabian paper was used at Castille, whence it penetrated into France, Italy, England, and Germany”.  
“sama saja dengan kertas, penemuan kertas membuka era peradaban baru. Tersebarnya buku murah dan populernya pembelajaran dan percetakan hanya menjadi mungkin sejak bangsa Arab menggantikan perkamen[2] dari jaman kuno dan kertas sutra ala Cina dengan kertas biasa yang kita kenal sekarang. Pada abad XIII Masehi ‘kertas Arab’ sudah digunakan di Castilla[3], kemudian masuk ke Perancis, Italia, Inggris, dan Jerman”. 

Seberapa besar pentingnya penemuan ini?
L. S Stavrianos dalam The World to 1500[4] mengatakan:
“The value of paper is evident in the fact that to produce one copy of the Bible on parchment, the skins of no less than three hundred sheep would be required”.
“Nilai kertas terlihat pada fakta bahwa untuk membuat satu eksemplar Bibel/Injil dengan perkamen, dibutuhkan paling tidak 300 domba”

Ide munculnya buku
Joe Carmichael dalam A Study in Ethnic Identity, The Shaping of The Arabs[5] mengatakan:
“When the Arabs come out of desert, the very idea of book was unknown to them. Since time immemorial the spoken word, in oral transmission and in recitation, was the only recognized type of publication. But as they come to the contact with the other cultures they came upon the idea of a book-a physical object-, a cluster of pages bound together with a title and subject, a beginning and a ending later supplemented by ornamentations of various kinds and bindings on which great ingenuity and artistry was exercised. The process that quickly began among the Muslims and, as the scope and extent of literary production increased, culminated in a book is based on the classical idea; this process was accelerated still further when paper, a Chinese invention, was brought in via Central Asia in the eight century. In capsule from this anticipated the later effects of the inventions of printing in the West, since paper made it possible to produce more books far more cheaply, and fitted in with the expansion of learning in the Islamic Empire”.
“Ketika bangsa Arab keluar dari wilayahnya gurun pasirnya, ide awal adanya buku belum mereka kenal. Sejak masa yang tidak bisa diingat dari dunia bicara, bentuk publikasi yang dikenal hanyalah transmisi lisan dan pembacaan/hafalan saja. Sejak mereka memiliki hubungan dengan kebudayaan lain munculluh ide adanya buku –berupa obyek fisik-, berupa kumpulan dari beberapa halaman yang digabung dengan memiliki judul dan isi, bagian awal dan bagian akhir yang kemudian ditambahkan ornamen beranekaragam dan jilid/sampul yang memerlukan kelihaian dan seni tertentu. Proses yang begitu cepat pada umat Islam dan cakupan karya ilmiah yang meluas akhirnya memuncak dalam bentuk buku fisik berdasar ide klasik; proses ini semakin dipercepat dengan ketika kertas, penemuan Cina berhasil dibawa via Asia Tengah pada abad VIII Masehi. Intinya, aktifitas ini mengawali dampak selanjutnya dari penemuan percetakan di Barat, karena kertas memungkinkan memproduksi lebih banyak buku dengan harga lebih murah, dan sesuai dengan meluasnya gerakan ilmiah di Kerajaan Islam”.      

Wallahua’lam.
Diadaptasi dari buku Dr. Mohammed Abu Hasan dalam The Role of Arabic-Islamic Civilization in The Making Of Western Civilization, (Amman: Departemen Kebudayaan Jordania, Cet. 1, 2008 M), hlm. 51-52.
 



                [1] Hlm. 274.
                [2] Kertas kulit.
                [3] Salah satu nama daerah yang terletak di bagian Utara Spanyol sekarang.
                [4] Hlm. 240.
                [5] Hlm. 170.

Sabtu, 17 Agustus 2019

Muslim, Barat dan Kompas


Sundial warisan Turki Usmani. khazanah republika



H. S. Williams dalam The Historians History of The World[1] mengatakan:
“With regard to the compass, nothing proves that Chinese used it for navigation, while we find the Arabs using it in the eleventh century, not only for sea voyage, but ini caravan journeys trough the desert, and to determine the azimuth of the Kiblah, that is direction of the Moslem oratories towards Mecca. To the Muslims we owe the introduction into the West of the mariner’s compass, which was indispensable to the mastery of ocean. The Muslims knew of the compass about two centuries before the voyages of Colombus. The Christian Navigators knew the compass by the late twelfth or early thirteenth century”.

Terjemahan bebasnya:
          “Terkait kompas, tidak ada fakta yang mebuktikan bahwa bangsa China telah menggunakannya sebagai alat navigasi, sedangkan data yang didapat justru menunjukkan bahwa bangsa Arab telah menggunakannya pada abad XI Masehi, tidak hanya untuk penjelajahan laut, bahkan kompas dimanfaatkan untuk perjalanan dengan caravan di padang pasir. Kompas juga digunakan untuk menentukan arah kiblat, arah shalat Muslim yang menghadap Makkah. Kita berutang kepada Muslim dengan mengenalkan Barat kompas laut yang tidak bisa tergantikan untuk mengetahui jalur laut. Muslim sudah mengenal kompas sekitar dua abad sebelum penjelahan samuderanya Colombus. Para navigator Kristen baru mengetahui kompas sekitar akhir abad XII atau awal abad XIII Masehi”.  
Al-Matwi menambahkan bahwa kompas yang dalam Bahasa Arab disebut dengan Buslah (بُصلَة)  merupakan bukti pengaruh besar peradaban Islam terhadap peradaban Barat yang masuk melalui jalur Perang Salib[2].
Wallahua’lam.






                [1] Volume VIII, page 274 sebagaimana dikutip Dr. Mohammed Abu Hasan dalam The Role of Arabic-Islamic Civilization in The Making Of Western Civilization, (Amman: Kementerian Kebudayaan Jordania, Cet. 1, 2008 M), hlm. 50-51.
                [2] Mohammed Arusy al-Matwy, al-Hurub as-Salibiyyah fil Masyriq wal Maghrib, (Tt.: Darul Gharb al-Islami, Edisi Revisi, 1982 M), hlm. 164.

Judzam


Sumber gambar: https://www.alayam24.com

Judzam adalah Amru bin bin Adiy bin al-Harist bin Murrah bin Udad bin Zaid bin Yasyjub bin ‘Arib bin Zaid bin Kahlan bin Saba’[1].
Dikatakan bahwa nama ini dari nama penyakit yang terkenal[2], atau dari kata (جَذَمَ) yang berarti memotong[3].
Mengutip al-Hamdani, Qalqasyandi menyebut bahwa kabilah ini yang pertama kali mendiami Mesir ketika mereka datang bersama Amru bin al-Ash –penakluk Mesir-. Mereka disediakan tempat di Mesir, dan sampai sekarang beberapa tempat tersebut masih di bawah anak cucu mereka[4].
Wallahua'lam.




            [1] Qalqasyandi, Nihayah al-Arab fi Ma’rifah Ansab al-Arab, Tahqiq Ibrahim al-Abyari, (Beirut: Dar Kitab al-Lubnani, Cet. 2, 1400 H), hlm. 205.
                [2] Maksudnya kusta/lepra.
                [3] Qalqasyandi, Nihayah al-Arab, hlm. 206.
                [4] Qalqasyandi, Nihayah al-Arab, hlm. 206.

Jumat, 16 Agustus 2019

Hikmah Mengapa Para Nabi Menggembala Kambing




قَالَ النَّبِيِّ : مَا بَعَثَ اللَّه نَبِيًّا إِلا رَعَى الْغَنَمَ، فَقَال أَصْحابُه: وَأَنْتَ؟ قَالَ: نَعَمْ، كُنْتُ أَرْعَاهَا عَلى قَرارِيطَ لأَهْلِ مَكَّةَ
Rasulullah bersabda: “Tidaklah Allah mengutus seorang nabi kecuali ia menggembala kambing”. Shahabat bertanya: apakah engkau juga demikian?. Rasulullah menjawab: “Iya, dulu aku menggembala kambing milik orang Makkah dengan upah beberapa qirath[1]”.
Dalam Sunan Ibnu Majah[2], salah satu perawi hadist; Suwaid bin Said menyebut: Setiap kambing dengan upah satu qirath.
Berapakah satu qirath?, Ibnu Hajar menyebut bahwa kalimat ini memiliki dua makna: 1) Nama salah satu tempat di Makkah, 2) Sebagian dinar atau dirham[3].  Maksud hadist ini adalah yang pertama, karena penduduk Makkah tidak mengenal tempat tersebut[4].
Shafiyurrahman al-Mubarakfuri, seorang alim Sirah Nabawiyah yang tersohor dari India menawarkan perkiraan modern dari qirath ini bahwa nilainya sepadan dengan seperduapuluh atau seperduapuluhempat dinar, atau sekitar 10 riyal Saudi masa kini[5]. Penulis belum mengetahui tahun berapa al-Mubarakfuri menuliskan buku ini sehingga bisa diperkirakan nilai tukar Saudi masa itu, namun jika diperkirakan kasar dengan nilai tukar Riyal terhadap Rupiah sekarang yang berkisar sekitar 4.000 Rupiah maka diperkirakan upah yang didapatkan sekitar 40.000 Rupiah saja, suatu jumlah yang tidak seberapa pada masa kini.
Ibnu Hajar menjelaskan bahwa hikmah para nabi yang menggembala kambing akan menjadi persiapan sebelum mengurus umat, karena pekerjaan ini mewariskan sikap hilm dan penyayang, karena mereka bersabar mengumpulkan kawanan, memindahkan dari satu tempat gembalaan ke tempat lain, menjaga mereka dari bahaya hewan buas dan pencuri, tahu perbedaan tabiat, tahu mudahnya mereka terpencar meski mereka lemah, dan tahu perlunya mereka akan penjagaan yang kesemuanya akan menjadikan para nabi sabar menghadapi umat...[6].
Mengapa kambing yang disebut dan bukan yang lain?
1) Karena kambing lebih lemah dibanding yang lain[7].
2) Karena kambing secara kebiasaan umum lebih banyak terpencar dibanding unta dan sapi karena keduanya mungkin diikat[8].
Ibnu Hajar di sisi lain menyebutkan faidah keterangan Rasulullah ini padahal ia adalah manusia termulia sejagat yang menunjukkan besarnya tawadhu Rasulullah, dan pengakuannya akan nikmat Allah kepadanya dan saudaranya sesama nabi[9].
Wallahua’lam.
Ngangkruk, 16 Dzulhijjah 1440 H/16 Agustus 2019 M 22.58 WIB.



                [1] Hadist (2262) dari Abu Hurairah.
                [2] Hadist (2149) dari Abu Hurairah.
                [3] Ibnu Hajar, Fathul Bari, 6/28.
                [4] Ibnu Hajar, Fathul Bari, 6/28.
                [5] Shafiyurrahman al-Mubarakfuri, Raudlatul Anwar, hlm. 13.
                [6] Ibnu Hajar, Fathul Bari, 6/28.
                [7] Ibnu Hajar, Fathul Bari, 6/28.
                [8] Ibnu Hajar, Fathul Bari, 6/28.
                [9] Ibnu Hajar, Fathul Bari, 6/28.

Al-Mizzi, Ibnu Taimiyah dan Penjara Ibnu Hajar mengisahkan dalam biografi al-Mizzi bahwa ia pernah mengalami cobaan dengan dipenjara, perist...