Senin, 19 November 2018

Kritik Sejarah Menurut al-Muallimi (1386 H/1966 M)




            Abdurrahman bin Yahya al-Muallimi al-Yamani menyebutkan dalam bukunya Ilmu ar-Rijal wa Ahammiyatuhu hlm. 91 mengatakan:
“Kebutuhan Sejarah Islam untuk mengetahui keadaan perawi peristiwa sejarah lebih besar daripada kebutuhan hadist terhadap perawi hadist, hal itu karena kedustaan dan bermudah-mudahan dalam Sejarah Islam lebih banyak terjadi. Bahkan mengetahui keadaan perawi kejadian sejarah merupakan salah satu jenis terpenting disiplin Ilmu Sejarah Islam. Ilmu-ilmu agama dan kesejarahan lebih utama untuk dijaga daripada yang lain, karena jika ia hilang tidak mungkin untuk mendapatkannya kembali masa kenabian yang terakhir. Adapun yang lain tidak seperti itu, karena ia tidak lain hasil dari proses akal, pengalaman dan percobaan, Jika hilang masih mungkin untuk menghasilkannya untuk kedua kalinya...”.  
            Al-Allamah al-Muallimi benar dalam masalah ini, sehingga seorang pemerhati sejarah Islam harus memiliki perhatian dengan para perawi sejarah dan hal yang terkait dengan mereka dari metodenya dalam meriwayatkan sejarah, kritik ulama terhadap mereka dari sisi jarh wa ta’dil dan hal lainnya yang terkait dengan riwayat dan sumbangsih mereka terhadap Sejarah Islam. Hal ini penting sehingga sejarawan Muslim tahu sejauh mana kadar riwayat sejarah bisa diterima.
            Contoh yang bisa diberikan misalkan penilaian ulama terhadap Muhammad bin Umar bin Waqid al-Aslami yang lebih dikenal dengan al-Waqidi (130-207 H), seorang sejarawan masyhur yang memberikan sumbangsih besar terhadap Sejarah Islam. Muridnya sekaligus sekretarisnya, Muhammad bin Sa’d (230 H) menyebutkan (Tabaqat Ibnu Sa’d, 7/603) bahwa ia adalah mawla Bani Sahm, salah satu bathn (bagian) dari Bani Aslam. Ia menjadi qadhi al-Ma’mun, Khalifah ke-8 Daulah Abbasiyah selama 4 tahun di Baghdad. Seorang alim dalam Maghazi, Sirah an-Nabawiyah, Futuhat (Penaklukan Wilayah), Hukum Islam, dan Perbedaan Fiqh.
            Pada tempat lain Ibnu Sa’d (Tabaqat Ibnu Sa’d, 9/336) menyebutkan bahwa al-Waqidi adalah mawla Abdullah bin Buraidah al-Aslami, ia datang ke Baghdad tahun 180 H dengan berhutang. Ia kemudian melakukan perjalanan ke Syam dan Raqqah kemudian kembali ke Baghdad. Ia diberi jabatan qadha’ (kehakiman) oleh al-Ma’mun al-Abbasi. Ketika al-Mahdi datang dari Khurasan ia dijadikan qadhi (hakim) di militer al-Ma’mun. Ia tetap menjadi qadhi hingga meninggal di Baghdad tanggal 10 Dzu al-Hijjah tahun 207 M.
            Bagaimana kritik ulama terhadap al-Waqidi, Ibnu Sayyid an-Nas (734 H) menyebutkan dalam mukadimmah karyanya, Uyun al-Atsar (1/71) menyebut bahwa keluasan ilmu menjadi peluang muncul perkataan yang aneh dan asing, dan banyaknya perkataan asing membuka peluang munculnya tuduhan. Al-Waqidi tidak diragukan keluasan ilmunya hingga semakin banyak perkataannya yang aneh dan asing. 
            Pada halaman yang sama, Ibnu Sayyid an-Nas menyebut bahwa ia meriwayatkan usaha al-Waqidi menelusuri tempat-tempat peristiwa Tarikh Islami dan pertanyaan yang ia ajukan kepada anak-anak dan para mawla shahabat dan orang-orang yang gugur tentang keadaan para pendahulu mereka yang menjadikannya bersendirian menyebutkan riwayat dan kabar tersebut yang jumlahnya (banyak) dan tidak terbatas.   
            Ulama lain, misalkan Adz-Dzahabi (748 H) dalam karyanya (Siyar A’lam an-Nubala’, 8/295) menyebut bahwa ia salah satu wadah ilmu, meski disepakati riwayatnya dhaif. Penilaian final adz-Dzahabi ini diambil setelah mengambil kesimpulan begitu banyak silang pendapat kritik ulama hadist terhadapnya dari sisi jarh wa ta’dil (Siyar A’lam, 8/299-305).
            Terakhir, adz-Dzahabi menyampaikan pendapatnya (Siyar A’lam, 8/305) bahwa: al-Waqidi didhaifkan, namun riwayatnya diperlukan dalam masalah peperangan, Tarikh Islam, dan riwayatnya disebutkan bukan sebagai hujjah (namun sebagai pelengkap, pen.). Sedangkan dalam faraidh, kewajiban masalah agama, maka tidak perlu untuk disebutkan.
            Murid adz-Dzahabi, Ibnu Katsir (774 H) (al-Bidayah wa an-Nihayah, 4/580) menyebutkan pendapat yang kurang lebih senada, bahwa al-Waqidi memilih tambahan (rincian) yang baik, sejarah yang tersusun (rapi), dan ia termasuk Imam dalam disiplin ini (Tarikh Islam). Ia shaduq (jujur dan benar) dan banyak menyebutkan (riwayat Tarikh Islam).
            Salah satu Sejarawan masa kini Saudi, Muhammad Shamil as-Sullami (Manhaj Kitabah at-Tarikh, hlm. 439-440) memungkasi perkataan ulama tentang al-Waqidi dengan mengatakan bahwa yang nampak dari para kritikus Hadist dan Tarikh Islam bahwa riwayat al-Waqidi dalam masalah Sejarah Islam dan Siyar bisa diterima. Namun (disyaratkan) riwayatnya tidak menyelisihi riwayat yang sahih, karena (riwayatnya) tidak bisa dijadikan sebagai hujjah jika bersendirian apalagi jika menyelisihi lainnya yang lebih tsiqah darinya.
            Pemaparan ini menjadikan pentingnya memahami posisi perawi sejarah, sehingga Sejarawan Islam tahu betul sejauh mana ia bisa mengambil pendapat seorang perawi, apakah semua riwayatnya bisa diterima?,  dalam masalah apa saja riwayatnya diterima?, dalam masalah apa riwayatnya bisa ditolak?.
            Kesimpulan lebih jauhnya bahwa sedari dulu Tarikh Islam itu punya metodologi khusus, sehingga salah besar jika sebagian orang yang menyebut Tarikh Islam tidak punya metodologi hanya karena berbeda dengan yang dipahaminya dari metode sejarah Barat. Jika pembaca belum percaya, boleh tengok buku Asad Gabriel Rustum (1897-1965), seorang Sejarawan Kristen Lebanon lulusan American University in Beirut (AUB), sempat pula melanjutkan kuliahnya di Chicago University. Ia pernah menulis metode kesejarahan dengan banyak mengadopsi kaidah-kaidah dalam Ilmu Hadist. Karena itu ia memberi judul bukunya dengan Musthalah at-Tarikh.
            Hal itu semua menjadikan seorang Muslim harus bangga dengan identitasnya sendiri yang mandiri dan cemerlang, identitas itu akan menghantarkannya memahami lebih baik jati dirinya sebagai bagian dari Umat Islam yang memiliki peradaban mandiri yang kuat dan perkasa. Metode “impor” yang digunakan untuk membedah Tarikh Islam akan menjadikan rasanya tidak “original” lagi, bahkan bisa membawa racun yang membinasakan dirinya dan orang lain. Wallahua’lam.

Referensi
Adz-Dzahabi. Tt. Siyar A’lam an-Nubala. Tahqiq Khairi Sa’id. Kairo: Maktabah Tawfiqiyyah.
Ibnu Katsir. 1417 H. Al-Bidayah wa an-Nihayah. Tahqiq Abdullah bin Abd al-Muhsin at-Turki. Cetakan Pertama. Kairo: Hajar.
Al-Muallimi, Abdurrahman bin Yahya. 1417 H. Ilmu ar-Rijal wa Ahammiyatuhu. Tahqiq Ali Hasan al-Halabi. Cetakan Pertama. Riyadh: Dar ar-Rayah.
Rustum, Asad. 1423 H. Mustalah at-Tarikh. Cetakan Pertama. Beirut:  Maktabah al-Ashriyah.
Ibnu Sayyid Nas. Tt. Uyun al-Atsar fi Funun al-Maghazi wa asy-Syamail wa as-Siyar. Tahqiq Muhyiddin Mesto dan Muhammad al-‘Ied al-Khathrawi. Madinah; Beirut: Dar at-Turats; Dar Ibnu Katsir.
As-Sulami, Muhammad bin Shamil. 1418 H.  Manhaj Kitabah at-Tarikh al-Islami. Cetakan Kedua. Makkah: Dar ar-Risalah.

Ngangkruk, 11 Rabi al-Awwal 1440 H/19 Nopember 2018 Pkl. 16.51 WIB.


Minggu, 18 November 2018


Tanggal Lahir Rasulullah Menurut Syaikh Albani
 -rahimahullah-
              
         Masyhur bagi umat Islam bahwa Rasulullah lahir hari Senin tanggal 12 Rabi’ al-Awwal Tahun Gajah*. Apakah pendapat ini diterima semua ulama Islam?, jawabannya adalah tidak. Paling jauh yang bisa dikatakan bahwa ini pendapat yang paling masyhur, namun hal ini belum dan sampai sekarang masih diperselisihkan ulama dengan pendapat hujjahnya masing-masing. Perbedaan tentang hal ini cukup banyak, ambil contoh yang disebutkan oleh Ibnu Katsir dalam karyanya, al-Fushul Min Sirah ar-Rasul (hlm. 91) yang menyebutkan beberapa pendapat dalam masalah ini, antara: 1) tanggal 2, 2) tanggal 8, 3) tanggal 10, 4) tanggal 12. Semuanya di bulan Rabi' al-Awwal. Hal ini untuk menunjukkan belum adanya ijma’ dalam masalah ini.
      Lalu, apa pendapat yang diambil Ibnu Katsir?. Ibnu Katsir memilih pendapat bahwa lahirnya Rasulullah pada tanggal 2 Rabi’ al-Awwal. Abdu al-Ghani al-Maqdisi –penulis Umdah al-Ahkam- juga cenderung pada pendapat ini (Mukhtashar as-Sirah, hlm. 40).  
     Tarjih lain misalkan disebutkan oleh penulis beken Sirah, Shafiyurrahman al-Mubarakfuri –penulis ar-Rahiq al-Makhtum- dimana ia cenderung merajihkan tanggal 9 dengan mengatakan bahwa tanggal ini lebih sahih, dan tanggal 12 lebih masyhur (Raudhah al-Anwar, hlm. 9).
       Syaikh al-Albani  dalam Sahih as-Sirah an-Nabawiyah (hlm. 13) menyebutkan bahwa banyak sekali pendapat dalam masalah ini, namun semua riwayat tadi jika dikembalikan kepada Musthalah Hadist akan didapati bahwa semua pendapat tersebut semua muallaqah –tanpa sanad-. Pengecualiannya di tanggal 8 Rabi’ al-Awwal karena riwayat ini sanadnya sahih dari Muhammad bin Jubair bin Muth’im, seorang tabi’in  yang mulia. Syaikh Albani menambahkan, mungkin karena hal ini pendapat ini dibenarkan oleh sebagian sejarawan** Islam seperti al-Hafidz Muhammad bin Musa al-Khawarizmi, dan menjadi pendapat yang dirajihkan Abu al-Khaththab bin Dihyah. Walaupun Syaikh Albani tidak menyangkal bahwa pendapat yang paling masyhur adalah tanggal 12. Wallahua’lam.

* Disebut tahun Gajah karena kedatangan pasukan bergajah yang dipimpin oleh Abrahah, penguasa Yaman yang kisahnya disebutkan al-Qur’an dalam Surat al-Fil. Hal itu karena Bangsa Arab belum mengenal tahun angka, sehingga suatu tahun disebut dengan peristiwa masyhur yang terjadi di tahun tersebut. Sehingga misalkan perang Bu’ats  yang terjadi antara tahun 5 atau 6 sebelum hijrah antara Aus dan Khazraj di Madinah menjadi salah satu alternatif nama untuk penyebutan tahun tersebut. Bangsa Arab dan Umat baru mengenal tahun secara angka baru pada masa kekuasaan Umar bin Khattab pada tahun 16 H.
** Menurut Abdulllah bin Abdul Muhsin at-Turki, muhaqqiq al-Bidayah wa an-Nihayah (4/375), kalimat asalnya tertulis تاريخ dan hal itu tashif (salah cetak) padahal yang betul adalah زَيجُ yaitu karya dalam bidang astronomi (ilmu falak/perbintangan).

Referensi

ِِِAl-Albani, Muhammad Nashiruddin. 1428 H. Sahih as-Sirah an-Nabawiyah. Cetakan Pertama. Riyadh: Maktabah al-Maarif.
Ibnu Katsir. 1417 H. Al-Bidayah wa an-Nihayah. Tahqiq Abdulllah bin Abdul Muhsin at-Turki. Kairo: Hajar.
Ibnu Katsir. 1403 H. Al-Fusuh fi Surah ar-Rasul. Tahqiq Muhyiddin Mesto dan Muhammad ‘Id al-Khatrawy. Damaskus; Riyadh: Maktabah Ulum al-Qur’an; Dar at-Turats.
Al-Maqdisi, Abdu al-Ghani. 1424 H. Mukhtashar as-Sirah wa Sirah Ashabi al-‘Asyrah. Tahqiq Khalid as-Syayi’. Riyadh: Sulaiman bin Abdu al-Aziz al-Rajhi Charitable Foundation.  
Al-Mubarakfuri, Syafiyurrahman. 1430 H. Raudhah al-Anwar fi Sirah an-Nabiyyi al-Mukhtar. Riyadh: Wizarah as-Syu’un al-Islamiyah wa al-Awqaf wa ad-Dakwah wa al-Irsyad. Cetakan Keenam.

                                                                        Ngangkruk, 10 Rabi’ al-Awwal 1440 H
                                                                                          18 Nopember 2018


                                                                                                

Jumat, 16 November 2018

Biografi Singkat Abdurrahman bin Yahya al-Muallimi al-Yamini
(1312-1386//± 1895-1966)

Al-Allamah Abdurrahman bin Yahya al-Muallimi al-Yamini adalah termasuk muhaddis Yaman yang tersohor, karyanya yang banyak memenuhi dunia dengan ilmu, editingnya atas karya ulama merupakan sumbangsih agung bagi kemajuan umat sebagaimana persaksian para ulama dan pecinta ilmu. 
Abdurrahman bin Yahya al-Muallimi al-Yamani lahir di desa Mahaqirah dekat kota Utumah Yaman sekitar akhir tahun 1312 H/± 1895 M. Karena kesulitannya untuk menyebarkan ilmu di negerinya ia hijrah demi menyelamatkan agamanya dari fitnah dan menuju wilayah Jazan di Saudi Arabia sekarang pada tahun 1336 H di masa kekuasaaan Syarif Muhammad bin Aali al-Idrisy (1341 H/1923 H) ketika umurnya sekitar 23 tahun saja. Sepeninggal al-Idrisy ia kemudian hijrah ke kota Hyderabad di wilayah Dekan India dan bekerja sebagai editor buku-buku hadist dan sejarah di Dairah Ma’arif al-Usmaniyah. Ia di India selama kurang lebih 25 tahun hingga akhirnya hijrah ke Makkah tahun 1371 H dan setahun kemudian ditunjuk menjadi pustakawan di Maktabah Haram al-Makki.
Karya al-Muallimi cukup banyak, Syaikh Ali al-Halaby ketika mengedit karyanya yang berjudul “Ilmu ar-Rijal” menyebut beberapa karya, diantaranya: 1) al-Anwar al-Kasyifah sebagai bantahan atas buku Adhwa’ ‘ala as-Sunnah tulisan dari Mahmud Abu Rayah. 2) Tali’at at-Tankil, 3) at-Tankil bi ma fi Ta’nib al-Kautsari min al-Abathil, untuk membantah tulisan-tulisan Muhammad Zahid al-Kautsari. Buku ini dicetak di Maktabah Ma’arif Riyadh dengan editing Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albani, 4) Maqam Ibrahim. 
Belum lagi editingnya atas berbagai banyak karya ulama ketika ia berada di India, semisal: 1) al-Ikmal karya Ibnu Makula sebanyak 4 jilid, 2) al-Ansab karya as-Sam’ani asy-Syafi’i sebanyak 4 jilid, 3) Tadzkirah al-Huffadz karya adz-Dzahabi, 4) al-Jarh wa at-Ta’dil karya Ibnu Abi Hatim ar-Razi, 5) at-Tarikh al-Kabir karya Imam Bukhari dan lainnya. 
Setelah perjalanan panjang yang penuh dengan dedikasi, ketekunan, kedisiplinan, pengorbanan dalam ilmu dan dakwah, Syaikh Abdurrahman meninggal pada pagi hari Kamis tanggal 6 Shafar 1386 H/± 27 Mei 1966 M di ranjangnya dan buku berada di dadanya. Semoga Allah merahmatinya. 

Referensi
Ahmad bin Ghanim al-Asadi. 1427 H. Al-Imam Abdurrahman bin Yahya al-Muallimi al-Yamani, Hayatuhu wa Atsaruhu. Cetakan Pertama. Beheira: Maktabah ar-Ridwan.
Abdurrahman bin Yahya al-Muallimi. 1417 H. Ilmu ar-Rijal wa Ahammiyatuhu. Tahqiq Ali Hasan al-Halaby. Cetakan Pertama. Riyadh: Dar ar-Rayah.


Ngangkruk, 08 Rabi al-Awwal 1440 H
16 Nopember 2018 M 

Al-Mizzi, Ibnu Taimiyah dan Penjara Ibnu Hajar mengisahkan dalam biografi al-Mizzi bahwa ia pernah mengalami cobaan dengan dipenjara, perist...