Minggu, 25 Agustus 2019

Membedakan Bahrain Kini dan Dulu di Literatur Sejarah Islam


Old Town, Manama Bahrain. Image by Mesh'al Elfayez. Sumber: Trover.com

            Bahrain masa dahulu menurut Yaqut al-Hamawi adalah daerah yang mencakup wilayah di pesisir Samudera Hindia antara Bashrah (di utara) dan Oman (di selatan) di bagian timur Jazirah Arab[1].
Menurut Muhammad Syurrab, Bahrain dulu digunakan untuk menyebut pesisir Nejd antara Qatar dan Kuwait (sekarang). Daerah ini berpusat di Hajar (هَجَر) yang sekarang disebut Hufuf (هُفُوف) hari ini, kadang daerah ini disebut Hasa (الحَسَا) kemudian disebut dengan Ahsa (الأَحسَاء) hingga akhir masa Turki Usmani[2].
Mayoritas peristiwa yang disebut Sirah Nabawiyah tentang Bahrain, maka yang dimaksud adalah bagian Timur Kerajaan Saudi Arabia[3].
Adapun masa sekarang, istilah Bahrain yang dimaksud adalah pulau besar yang menghadap pesisir ini (Jazirah Arab) yang dulu disebut dengan pulau Uwal (أُوَال), yaitu keemiran Bahrain sekarang[4].
Negara ini adalah negara kepulauan yang terletak di arah timur laut Jazirah Arab yang meliputi pulau utamanya yaitu Bahrain dan pulau-pulau sekitarnya seperti Ummu Nasan dan Muharraq dengan ibukotanya Manama yang terletak di sebelah timur dari pulau utama Bahrain.  
Sejak 1986 dibuka Jembatan Raja Fahd sepanjang 24 km yang menghubungkan antara Bahrain dengan Jazirah Arab yang notabene masuk wilayah Saudi Arabia. Jembatan ini didanai Saudi, infrastruktur ini jelas mempererat hubungan antara kedua negara teluk ini.
Wallahua’lam.


                [1] Yaqut al-Hamawi, Mu’jam al-Buldan, tahqiq Farid Abdul Aziz Jundi, (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, Tanpa Tahun), 1/412.
                [2] Muhammad Hasan Syurrab, al-Ma’aalim al-Atsirah fi as-Sunnah wa as-Sirah, (Damaskus: Dar al-Qalam; Beirut: Dar asy-Syamiyah, Cet. 1, 1411 H), hlm. 44.
                [3] Muhammad Hasan Syurrab, , al-Ma’aalim al-Atsirah, hlm. 44.
                [4] Muhammad Hasan Syurrab, , al-Ma’aalim al-Atsirah, hlm. 44.

Senin, 19 Agustus 2019

Islam, Kertas dan Buku


Manuskrip Gharib al-Hadist karya Abu Ubaid Qasim bin Sallam. Gambar: muslimheritage 




Inovasi kertas umat Islam
H. S. Williams dalam The Historians History of The World[1] mengatakan:
“It was the same with the paper: the invention of paper opened up anew era for civilization. The diffusion of cheap books and the popularization of learning and printing have became possible only since the Arabs replace the parchment of the ancient world and the silk paper if the Chinese by ordinary paper such as we know it today. In the thirteenth century Arabian paper was used at Castille, whence it penetrated into France, Italy, England, and Germany”.  
“sama saja dengan kertas, penemuan kertas membuka era peradaban baru. Tersebarnya buku murah dan populernya pembelajaran dan percetakan hanya menjadi mungkin sejak bangsa Arab menggantikan perkamen[2] dari jaman kuno dan kertas sutra ala Cina dengan kertas biasa yang kita kenal sekarang. Pada abad XIII Masehi ‘kertas Arab’ sudah digunakan di Castilla[3], kemudian masuk ke Perancis, Italia, Inggris, dan Jerman”. 

Seberapa besar pentingnya penemuan ini?
L. S Stavrianos dalam The World to 1500[4] mengatakan:
“The value of paper is evident in the fact that to produce one copy of the Bible on parchment, the skins of no less than three hundred sheep would be required”.
“Nilai kertas terlihat pada fakta bahwa untuk membuat satu eksemplar Bibel/Injil dengan perkamen, dibutuhkan paling tidak 300 domba”

Ide munculnya buku
Joe Carmichael dalam A Study in Ethnic Identity, The Shaping of The Arabs[5] mengatakan:
“When the Arabs come out of desert, the very idea of book was unknown to them. Since time immemorial the spoken word, in oral transmission and in recitation, was the only recognized type of publication. But as they come to the contact with the other cultures they came upon the idea of a book-a physical object-, a cluster of pages bound together with a title and subject, a beginning and a ending later supplemented by ornamentations of various kinds and bindings on which great ingenuity and artistry was exercised. The process that quickly began among the Muslims and, as the scope and extent of literary production increased, culminated in a book is based on the classical idea; this process was accelerated still further when paper, a Chinese invention, was brought in via Central Asia in the eight century. In capsule from this anticipated the later effects of the inventions of printing in the West, since paper made it possible to produce more books far more cheaply, and fitted in with the expansion of learning in the Islamic Empire”.
“Ketika bangsa Arab keluar dari wilayahnya gurun pasirnya, ide awal adanya buku belum mereka kenal. Sejak masa yang tidak bisa diingat dari dunia bicara, bentuk publikasi yang dikenal hanyalah transmisi lisan dan pembacaan/hafalan saja. Sejak mereka memiliki hubungan dengan kebudayaan lain munculluh ide adanya buku –berupa obyek fisik-, berupa kumpulan dari beberapa halaman yang digabung dengan memiliki judul dan isi, bagian awal dan bagian akhir yang kemudian ditambahkan ornamen beranekaragam dan jilid/sampul yang memerlukan kelihaian dan seni tertentu. Proses yang begitu cepat pada umat Islam dan cakupan karya ilmiah yang meluas akhirnya memuncak dalam bentuk buku fisik berdasar ide klasik; proses ini semakin dipercepat dengan ketika kertas, penemuan Cina berhasil dibawa via Asia Tengah pada abad VIII Masehi. Intinya, aktifitas ini mengawali dampak selanjutnya dari penemuan percetakan di Barat, karena kertas memungkinkan memproduksi lebih banyak buku dengan harga lebih murah, dan sesuai dengan meluasnya gerakan ilmiah di Kerajaan Islam”.      

Wallahua’lam.
Diadaptasi dari buku Dr. Mohammed Abu Hasan dalam The Role of Arabic-Islamic Civilization in The Making Of Western Civilization, (Amman: Departemen Kebudayaan Jordania, Cet. 1, 2008 M), hlm. 51-52.
 



                [1] Hlm. 274.
                [2] Kertas kulit.
                [3] Salah satu nama daerah yang terletak di bagian Utara Spanyol sekarang.
                [4] Hlm. 240.
                [5] Hlm. 170.

Sabtu, 17 Agustus 2019

Muslim, Barat dan Kompas


Sundial warisan Turki Usmani. khazanah republika



H. S. Williams dalam The Historians History of The World[1] mengatakan:
“With regard to the compass, nothing proves that Chinese used it for navigation, while we find the Arabs using it in the eleventh century, not only for sea voyage, but ini caravan journeys trough the desert, and to determine the azimuth of the Kiblah, that is direction of the Moslem oratories towards Mecca. To the Muslims we owe the introduction into the West of the mariner’s compass, which was indispensable to the mastery of ocean. The Muslims knew of the compass about two centuries before the voyages of Colombus. The Christian Navigators knew the compass by the late twelfth or early thirteenth century”.

Terjemahan bebasnya:
          “Terkait kompas, tidak ada fakta yang mebuktikan bahwa bangsa China telah menggunakannya sebagai alat navigasi, sedangkan data yang didapat justru menunjukkan bahwa bangsa Arab telah menggunakannya pada abad XI Masehi, tidak hanya untuk penjelajahan laut, bahkan kompas dimanfaatkan untuk perjalanan dengan caravan di padang pasir. Kompas juga digunakan untuk menentukan arah kiblat, arah shalat Muslim yang menghadap Makkah. Kita berutang kepada Muslim dengan mengenalkan Barat kompas laut yang tidak bisa tergantikan untuk mengetahui jalur laut. Muslim sudah mengenal kompas sekitar dua abad sebelum penjelahan samuderanya Colombus. Para navigator Kristen baru mengetahui kompas sekitar akhir abad XII atau awal abad XIII Masehi”.  
Al-Matwi menambahkan bahwa kompas yang dalam Bahasa Arab disebut dengan Buslah (بُصلَة)  merupakan bukti pengaruh besar peradaban Islam terhadap peradaban Barat yang masuk melalui jalur Perang Salib[2].
Wallahua’lam.






                [1] Volume VIII, page 274 sebagaimana dikutip Dr. Mohammed Abu Hasan dalam The Role of Arabic-Islamic Civilization in The Making Of Western Civilization, (Amman: Kementerian Kebudayaan Jordania, Cet. 1, 2008 M), hlm. 50-51.
                [2] Mohammed Arusy al-Matwy, al-Hurub as-Salibiyyah fil Masyriq wal Maghrib, (Tt.: Darul Gharb al-Islami, Edisi Revisi, 1982 M), hlm. 164.

Judzam


Sumber gambar: https://www.alayam24.com

Judzam adalah Amru bin bin Adiy bin al-Harist bin Murrah bin Udad bin Zaid bin Yasyjub bin ‘Arib bin Zaid bin Kahlan bin Saba’[1].
Dikatakan bahwa nama ini dari nama penyakit yang terkenal[2], atau dari kata (جَذَمَ) yang berarti memotong[3].
Mengutip al-Hamdani, Qalqasyandi menyebut bahwa kabilah ini yang pertama kali mendiami Mesir ketika mereka datang bersama Amru bin al-Ash –penakluk Mesir-. Mereka disediakan tempat di Mesir, dan sampai sekarang beberapa tempat tersebut masih di bawah anak cucu mereka[4].
Wallahua'lam.




            [1] Qalqasyandi, Nihayah al-Arab fi Ma’rifah Ansab al-Arab, Tahqiq Ibrahim al-Abyari, (Beirut: Dar Kitab al-Lubnani, Cet. 2, 1400 H), hlm. 205.
                [2] Maksudnya kusta/lepra.
                [3] Qalqasyandi, Nihayah al-Arab, hlm. 206.
                [4] Qalqasyandi, Nihayah al-Arab, hlm. 206.

Jumat, 16 Agustus 2019

Hikmah Mengapa Para Nabi Menggembala Kambing




قَالَ النَّبِيِّ : مَا بَعَثَ اللَّه نَبِيًّا إِلا رَعَى الْغَنَمَ، فَقَال أَصْحابُه: وَأَنْتَ؟ قَالَ: نَعَمْ، كُنْتُ أَرْعَاهَا عَلى قَرارِيطَ لأَهْلِ مَكَّةَ
Rasulullah bersabda: “Tidaklah Allah mengutus seorang nabi kecuali ia menggembala kambing”. Shahabat bertanya: apakah engkau juga demikian?. Rasulullah menjawab: “Iya, dulu aku menggembala kambing milik orang Makkah dengan upah beberapa qirath[1]”.
Dalam Sunan Ibnu Majah[2], salah satu perawi hadist; Suwaid bin Said menyebut: Setiap kambing dengan upah satu qirath.
Berapakah satu qirath?, Ibnu Hajar menyebut bahwa kalimat ini memiliki dua makna: 1) Nama salah satu tempat di Makkah, 2) Sebagian dinar atau dirham[3].  Maksud hadist ini adalah yang pertama, karena penduduk Makkah tidak mengenal tempat tersebut[4].
Shafiyurrahman al-Mubarakfuri, seorang alim Sirah Nabawiyah yang tersohor dari India menawarkan perkiraan modern dari qirath ini bahwa nilainya sepadan dengan seperduapuluh atau seperduapuluhempat dinar, atau sekitar 10 riyal Saudi masa kini[5]. Penulis belum mengetahui tahun berapa al-Mubarakfuri menuliskan buku ini sehingga bisa diperkirakan nilai tukar Saudi masa itu, namun jika diperkirakan kasar dengan nilai tukar Riyal terhadap Rupiah sekarang yang berkisar sekitar 4.000 Rupiah maka diperkirakan upah yang didapatkan sekitar 40.000 Rupiah saja, suatu jumlah yang tidak seberapa pada masa kini.
Ibnu Hajar menjelaskan bahwa hikmah para nabi yang menggembala kambing akan menjadi persiapan sebelum mengurus umat, karena pekerjaan ini mewariskan sikap hilm dan penyayang, karena mereka bersabar mengumpulkan kawanan, memindahkan dari satu tempat gembalaan ke tempat lain, menjaga mereka dari bahaya hewan buas dan pencuri, tahu perbedaan tabiat, tahu mudahnya mereka terpencar meski mereka lemah, dan tahu perlunya mereka akan penjagaan yang kesemuanya akan menjadikan para nabi sabar menghadapi umat...[6].
Mengapa kambing yang disebut dan bukan yang lain?
1) Karena kambing lebih lemah dibanding yang lain[7].
2) Karena kambing secara kebiasaan umum lebih banyak terpencar dibanding unta dan sapi karena keduanya mungkin diikat[8].
Ibnu Hajar di sisi lain menyebutkan faidah keterangan Rasulullah ini padahal ia adalah manusia termulia sejagat yang menunjukkan besarnya tawadhu Rasulullah, dan pengakuannya akan nikmat Allah kepadanya dan saudaranya sesama nabi[9].
Wallahua’lam.
Ngangkruk, 16 Dzulhijjah 1440 H/16 Agustus 2019 M 22.58 WIB.



                [1] Hadist (2262) dari Abu Hurairah.
                [2] Hadist (2149) dari Abu Hurairah.
                [3] Ibnu Hajar, Fathul Bari, 6/28.
                [4] Ibnu Hajar, Fathul Bari, 6/28.
                [5] Shafiyurrahman al-Mubarakfuri, Raudlatul Anwar, hlm. 13.
                [6] Ibnu Hajar, Fathul Bari, 6/28.
                [7] Ibnu Hajar, Fathul Bari, 6/28.
                [8] Ibnu Hajar, Fathul Bari, 6/28.
                [9] Ibnu Hajar, Fathul Bari, 6/28.

Apakah Nabi Muhammad Memiliki Sapi​?


sumber gambar: pontren.com

Diantara hewan yang dimiliki Rasululah sebagaimana disebutkan ulama Sirah adalah: kuda, baghlah (pertengahan antara kuda dan keledai), keledai, dan unta. Namun, apakah Rasulullah memiliki sapi?. Menurut Syaikh Shalih Ushaimi dalam komentarnya terhadap Mukhtasar Sirah Nabawiyah karya Abdul Ghani al-Maqdisi rahimahullah mengutip Ibnu Sayyidinnas dalam karyanya Uyunul Atsar, tidak disebutkan bahwa Rasulullah memiliki seekor sapi,
Apakah pendapat ini bisa diterima?. Jawabnya: yang mengatakan Nabi memilki sapi ia benar. Begitu juga yang mengatakan bahwa Nabi tidak memiliki sapi, ia juga benar.
Hal ini disebabkan bahwa Rasulullah tidak pernah memiliki sapi yang dirawat dan dipelihara untuk diambil manfaatnya. Namun, sapi yang dimiliki Rasulullah adalah sebatas untuk disembelih, karena sembelihan tidak mungkin dari milik orang lain. Rasulullah memiliki sapi yang disembelih untuk istri-istrinya sebagaimana disebutkan dalam Sahih.
Sehingga, Rasulullah tidak memiliki sapi dalam artian tidak merawat dan memelihara, namun Rasulullah hanya sebatas memilki untuk disembelih.

Diadaptasi dari penjelasan Syaikh Shalih Ushaimi atas Mukhtasar Sirah Nabawiyah karya Abdul Ghani al-Maqdisi rahimahullah hlm. 45.

Ngangkruk, 15 Dzulhijjah 1440 H/16 Agustus 2019 M.



Al-Mizzi, Ibnu Taimiyah dan Penjara Ibnu Hajar mengisahkan dalam biografi al-Mizzi bahwa ia pernah mengalami cobaan dengan dipenjara, perist...