Minggu, 31 Maret 2019

Tatar atau Mongol?


gambar: thelegacyofgenghiskhan.weebly.com

Mahmud Syakir[1]

Tatar adalah induk dari suku-suku yang bercabang banyak menjadi Mongol, Turk, Seljuk, dll. Bisa jadi penguasaan Mongol atas Tatar dalam satu fase tertentu dari sejarahnya menjadikan Mongol digunakan untuk menyebut semuanya[2].
Pendapat lain mengatakan bahwa Tatar dan Mongol itu dua bersaudara hingga Mongol menguasai Tatar ketika Jengiz Khan menguasai banyak negara.
Apapun itu, pemakaian istilah ini sekarang adalah: Tatar digunakan untuk menyebut bangsa yang tinggal di Rusia Timur, Siberia, dan Semenanjung Crimea, sedangkan Mongol untuk  menyebut bangsa yang tinggal di Cina dan Afghanistan[3].

Wallahua’lam.
Ngangkruk, Kamis, 24 Rajab 1440 H/31 Maret 2019 M pkl. 16.29 WIB.




                   [1] Mahmud Syakir, ad-Daulah al-Abbasiyah Vol. 2 dalam Tarikh al-Islami, (Beirut: Al-Maktab al-Islami, Cet. 6, 1421 H), hlm. 329.
                [2] Suku-suku yang tersebut tersebut di atas.
                [3] Barangkali termasuk juga Mongolia.

Kemenangan atas Tatar karena Tauhid dan Ittiba’


gambar: en.ppt-online.org

Ibnu Taimiyah mengatakan[1]:
Ketika manusia memperbaiki keadaan mereka dan membenarkan tata cara istighatsah kepada Rabb-nya, Allah memenangkan mereka atas musuhnya dengan kemenangan yang mulia, dan Tatar[2] belum pernah dikalahkan dengan kekalahan seperti ini sama sekali, hal itu karena mereka meluruskan tauhid mereka kepada Allah –Azza wa Jalla- dan dan menerapkan ketaatan kepada Rasulllah yang belum pernah mereka lakukan sebelumnya, karena Allah menolong rasul-Nya dan orang yang beriman di dunia dan di akhirat”.

Faidah
1. Tamkin di muka bumi baru akan terjadi dengan kuatnya agama yang benar dalam jiwa.
2.  Ibnu Taimiyah menyebutkan: “...hal itu karena mereka meluruskan tauhid mereka kepada Allah –Azza wa Jalla- dan dan menerapkan ketaatan kepada Rasulllah...”, dengan ini orang akan paham mengapa disyaratkan dua hal ini untuk menggapai kemenangan.
3. Ini cara Islam, bukan cara Machiavelli yang menghalalkan segala cara untuk mencapai tujuan.

Dikutip dengan perubahan dari as-Sabil ila al-Izz wa at-Tamkin, hlm. 35-36 karya Syaikh Abdul Malik Ramadhani –hafidzhullah-.



                [1] Ibnu Taimiyah, Talkhis Kitab al-Istighatsah, 2/731-738.
                [2] Kadang disebut Tatar, kadang disebut Mongol. Untuk  pemakaian istilah ini sekarang, Tatar digunakan untuk menyebut bangsa yang tinggal di Rusia Timur, Siberia, dan Semenanjung Crimea, sedangkan Mongol untuk menyebut yang tinggal di Cina dan Afghanistan. Mahmud Syakir, ad-Daulah al-Abbasiyah Vol. 2 dalam Tarikh al-Islami, (Beirut: Al-Maktab al-Islami, Cet. 6, 1421 H), hlm. 329.

Sabtu, 30 Maret 2019

Perhatian Ulama Anak Benua India terhadap Hadist


gambar: wikipedia

Ulama memiliki perhatian yang besar terhadap hadist Rasulullah mengingat posisinya sebagai sumber hukum Islam yang kedua setelah Al-Qur’an.
Al-Muallimi –rahimahullah- ketika menyebut penulisan dalam Ilmu Rijal, ia menyebut perkembangannya secara singkat kemudian memungkasinya dengan mengatakan:
“Hingga Allah membangkitkan (perhatian) umat kepada ilmu Hadist dan Ilmu Rijal, keutamaan dalam hal ini –setelah Allah Azza wa Jalla- kembali kepada (Anak Benua) India[1], dan yang paling agung Dairah Ma’arif[2], sebagaimana nanti[3]”. 
Muhaqqiq karya ini, Ali Hasan al-Halabi –hafidzahullah- kemudian menukilkan pendapat Abd al-Aziz al-Khuli[4] yang mengatakan:
“Tidak terdapat satu bangsa Islam, dengan banyak dan perbedaan jenisnya yang memberi perhatian besar kepada Hadist di masa ini seperti saudara kita Muslim (Anak Benua) India, terdapat para penghafal hadist dan para pelajar hadist yang diajarkan sebagaimana ia diajarkan pada abad ketiga Hijriah, dengan mengedepankan pemahaman dan memeriksa sanad hadist”.
Muhaqqiq kemudian mengutip pendapat Muhammad Rasyid Ridha[5] yang mengatakan:
“Kalau bukan karena perhatian saudara kita ulama (Anak Benua) India dengan Ilmu-ilmu Hadist pada masa ini, sungguh ia akan hilang di negeri-negeri Timur Islam”.
Wallahua’lam.

Ngangkruk, Selasa, 22 Rajab 1440 H/28 Maret 2019 M pkl. 09.41 WIB.




                [1] Penulis menggunakan istilah ini untuk menggantikan istilah (هند) yang dipakai dalam literatur Arab, yang sekarang mencakup India, Pakistan, dan Bangladesh.
                [2] Dairah Ma’arif al-Usmaniyah di Hyderabad Dekkan India, dimana al-Muallilmi bertahun-tahun tinggal disana sebagai editor yang tersohor, lihat postingan penulis tentang lembaga ini.
                [3] Al-Muallimi, Ilmu ar-Rijal wa Ahammiyatuhu, tahqiq Ali Hasan al-Halabi, (Riyadh: Dar ar-Rayah, Cet. 1, 1417 H), hlm. 59.
                [4] Miftah as-Sunnah, hlm. 165.          
                [5] Dalam mukaddimahnya atas buku Miftah Kunuz as-Sunnah.

Kamis, 28 Maret 2019

Wara’-nya Ahlu Hadist


gambar: sayidaty.net

Oleh: Abdurrahman bin Yahya al-Muallimi[1]

Ahlu Hadist adalah orang-orang yang wara’ dan tidak basa-basi hingga mencapai taraf yang tinggi, diantara contohnya:
1. Zaid bin Abi Unaisah: Saudaraku Yahya berdusta[2].
2. Jarir bin Abd al-Hamid ditanya tentang saudaranya Anas, maka ia menjawab: telah mendengar dari Hisyam bin Urwah, tapi ia berdusta dalam hadist manusia maka tidak ditulis (hadist) darinya[3].
3. Ali bin al-Madini meriwayatkan dari ayahnya, kemudian mengatakan: “Dalam hadist terdapat sesuatu di dalamnya!”, dan mengisyaratkan berkali-kali akan pen-dhaif-annya[4].
4. Abu Dawud mengatakan: Putraku Abdullah pendusta[5].
5. Imam Abu Bakr ash-Shibghi melarang untuk mendengarkan hadist dari saudaranya, Muhammad bin Ishaq[6].
Wallahua’lam.
Ngangkruk, Selasa, 22 Rajab 1440 H/28 Maret 2019 M pkl. 09.12 WIB.



                [1] Al-Muallimi, Ilmu ar-Rijal wa Ahammiyatuhu, tahqiq Ali Hasan al-Halabi, (Riyadh: Dar ar-Rayah, Cet. 1, 1417 H), hlm. 30-31
                [2] Ibnu Abi Hatim, Al-Jarh wa at-Ta’dil, 9 nomor 550.
                [3] Ibid, 2/289.
                [4] Ibid, 4/289.
                [5] Ibnu Hajar, Lisan al-Mizan, 3/293. Al-Muallimi mengupas masalah ini secara panjang lebar di karyanya at-Tankil, 1/293-305. Silahkan dirujuk.
                [6] Sam’ani, al-Ansab, 8/34; Dzahabi, Siyar A’lam, 15/489.

Sabtu, 16 Maret 2019

Bagaimana Mengambil Manfaat dari Tarikh Thabari?


gambar: arageek.com

Muhibbuddin al-Khatib (1389 H)[1]

Prolog
Suatu hal yang tidak diragukan lagi bahwa Tarikh Thabari merupakan salah satu referensi induk yang terpenting dalam sejarah Islam. Pentingnya buku ini kembali kepada banyak sebab: kedalaman ilmu penulisnya, selamatnya akidah penulis, kayanya sumber ilmiah, luasnya data ilmiah, bermacam-macamnya sumber, kuatnya metode hadist yang digunakan Thabari dan lain sebagainya. Tidak heran jika buku ini mendapatkan perhatian besar dari para pemerhati Sejarah Islam, tidak terkecuali para orientalis.
Setiap buku tentu saja memilik kekhasan khusus yang berlainan antara satu sama lain, peneliti yang cerdas akan bisa mengambil faidah sebesar-besarnya dari referensi yang ada padanya. Hal itu salah satunya kembali kepada pengetahuan peneliti akan kekhasan buku tertentu dari cara penulisan, sumber, batasan masa dan lain sebagainya.
Tulisan al-Khatib ini ditulis tahun 1954 M, berarti sudah melewati setengah abad namun temanya tetap aktual untuk dibaca terutama bagi pemerhati Sejarah Islam, sehingga pemanfaataan buku ini lebih besar lagi.

Mengambil Manfaat dari Data Tarikh Thabari
Al-Khatib mengatakan:
Memanfaatkan Tarikh Thabari dilakukan dengan mengetahui biografi para perawinya di kitab jarh wa ta’dil, mayoritas biografi suyukhnya langsung dan suyukh sebelumnya terdapat di kitab seperti Tadzkirah al-Huffadz karya Dzahabi. Adapun biografi perawi yang hidup hingga akhir abad kedua Hijriah terdapat di Khulashah Tadzhib al-Kamal karya Shofi a-Khazraji, Taqrib at-Tahdzib, dan Tahdzib at-Tahdzib keduanya karya Ibnu Hajar.
Perawi yang terkena jarh dan termasuk perawi yang dhaif terdapat biografinya di Mizan al-I’tidal karya Dzahabi, Lisan al-Mizan karya Ibnu Hajar, Tabaqat Ibnu Sa’d, Tarikh Baghdad karya al-Khatib al-Baghdadi, Tarikh Dimasyq karya Ibnu Asakir, Tarikh al-Islami karya Dzahabi, dan al-Bidayah wa an-Nihayah karya Ibnu Katsir.
Karya tentang Musthalah Hadist menjelaskan sifat yang harus dimiliki seorang perawi dan menjelaskan juga kapan boleh mengambil dari riwayat yang menyelisihi.
Belum diketahui ada umat, dimana para sejarawannya perhatian sampai pada hal menyeleksi kabar/data, menjelaskan derajatnya, dan syarat memanfaatnya seperti yang dilakukan ulama kaum Muslimin, karena pengetahuan tentang hal tersebut merupakan suatu kelaziman orang berkecimpung dalam Sejarah Islam.
Adapun orang yang yang mengambil data dengan hawa nafsunya, tidak mengenal para perawi, mencukupkan diri menyebut penukilan dari Thabari dari halaman sekian dan jilid sekian di akhir data dan kemudian menyangka bahwa ia telah melaksanakan tugasnya dengan hal tersebut, maka ia orang yang paling jauh dari manfaat yang terkandung dalam referensi Sejarah Islam yang memuat ribuan data tersebut.
Jika mereka mampu memahami Musthalah Hadist, memiliki perhatian dengan buku jarh wa ta’dil, perhatian dengan perawi setiap data sebagaimana perhatiannya terhadap data tersebut maka ia akan mampu “hidup” dalam “lingkungan” Sejarah Islam karena ia mampu membedakan data antara madu dan racunnya, mengetahui kadar data dengan mengetahui kadar perawi data tersebut.
Peninggalan para pendahulu umat ini dalam berbagai bidang pengetahuan termasuk warisan paling berharga yang ditinggalkan. Ulama pendahulu memiliki sumbangsih dalam banyak bidang keilmuan, sehingga karya mereka saling terkait satu sama lain. Karya mereka dalam Sejarah Islam tergantung pada riwayat, sebagai bukti hiperbolis dari sempurna dan mencakupnya amanah ilmiah mereka, sehingga orang yang menukil karya mereka harus memaparkan data tersebut kepada kaidah ilmu riwayat dan buku-buku jarh wa ta’dil yang menyebut biografi para perawi, karena jika hal itu tidak dilakukan maka ia salah jalan dan menyelisihi metodenya para ulama. Selesai. 

Ngangkruk, Kamis, 08 Rajab 1440 H/14 Maret 2019 M pkl. 13.25 WIB.



[1] Al-Maraji’ al-Ula fi Tarikhina; Tarikh al-Umam wa al-Mulk li Abi Ja’far Muhammad bin Jarir ath- Thabari (224-310 H) dalam Majalah Azhar tahun 1954 M  hlm. 215.

Jumat, 15 Maret 2019

Bagaimana Menjadikan Umat Bangga dengan Sejarah Islam?


gambar: iris.xyz

Oleh Muhibbuddin al-Khatib (1389 H)[1]
Al-Khatib ketika menyebut keengganan sebagian kalangan dengan hal yang terkait dengan Arab dan Islam menyebut:
“...Jika saudara kita tersebut[2] tumbuh dalam iman bahwa mereka adalah pemilik “peninggalan” ini, dan meyakini bahwa masa lau tersebut adalah bagian dari masa lalunya, bahwa generasi kita sekarang adalah bagian dari rangkaian masa lalu tersebut, bahwa peristiwa masa lalu itu kekayaan sebagai teladan dan pelajaran. Jika sudah demikian, maka mereka akan melihatnya dengan pandangan seorang ibu kepada putranya jika ia belum belum melihat sebagaimana pandangan anak kepada ibunya. Hal itu tidak akan terjadi kecuali dengan:
1) Mengadopsi sejarahnya,
2) Menghormati sejarah,
3) Hidup dengan kejayaan sejarahnya,
4) Berusaha menampakkan keindahan sejarahnya,
5) Menonjolkan keutamaan sejarahnya,
6) Berusaha mencari pelajaran dari kesalahan sejarah,
7) Menganalisa sejarahnya dengan kelembutan, keadilan, dan penghormatan yang sempurna.
Selesai.

Ngangkruk, Kamis, 08 Rajab 1440 H/14 Maret 2019 M pkl. 09.14 WIB.



[1] Al-Maraji’ al-Ula min Tarikhina; Tarikh al-Umam wa al-Muluk karya Thabari (310 H) dalam Majalah Azhar tahun 1954 M hlm 211.
[2] Yang enggan dengan hal-hal berbau Arab dan Islam.

Kamis, 14 Maret 2019

Pintu Masuk Peradaban Islam ke Eropa


Jalur Perdagangan Darat dan Laut antara Islam dengan Eropa
gambar: muslimheritage 


Muhammed al-Arusy al-Matwy[1]
Tersebarnya Islam di luar Jazirah Arab otomatis mengharuskan adanya benturan dengan kekuatan yang berkuasa waktu itu, kekuatan terbesar masa itu adalah Persia di Timur dan Kekaisaran Byzantine di Barat. Islam mampu mengalahkan Persia dengan mudah, hingga negeri-negeri Persia masuk ke dalam wilayah Islam hingga mereka memilki peran yang baik dalam persatuan dan peradaban Islam.
Adapun Byzantine, maka Islam berhasil menguasai wilayah mereka di Asia dan Eropa. Benturan antara Islam dan Byzantine merepresentasikan benturan antara Islam dan Kristen di Afrika, Asia, dan Laut Tengah. Persinggungan di wilayah yang disebutkan di atas juga menjadi jalan masuk peradaban Islam ke Eropa.
Pintu masuk utama bagi Peradaban Islam ke Eropa adalah: 1) Andalus[2], 2) Sisilia di Italia, 3) Perang Salib[3], 4) Jalur Konstantinopel[4], 5) Hubungan Perdagangan antara Timur dan Barat.
Masing-masing jalur ini memiliki peran besar dalam mentransfer Peradaban Islam ke Eropa, jika perang Salib berlangsung selama 2 abad yang menjadikan adanya persinggungan antara Timur dengan Barat, bukan suatu hal yang sembarangan jika dikatakan bahwa Perang Salib salah satu jalur transfer peradaban yang paling menonjol dan paling banyak kuantitasnya dari Islam menuju masyarakat Eropa. Selesai.



[1] Dalam karyanya al-Hurub as-Salibiyah fi al-Masyriq wa al-Maghrib, (Dar al-Gharb al-Islami, Cet. 2, 1982), hlm. 154-155.
[2] Jazirah Iberia, maksudnya Spanyol dan Portugal sekarang. Hal itu karena Islam bertahan di sana selama sekitar 8 abad.
[3] Dulu tidak dikenal dengan istilah ini, namun disebut dengan Serangan Eropa. Belakangan baru disebut dengan Perang Salib karena tentara Kristen menggunakan tanda salib ketika berperang. Terjadi selama lebih dari dua abad, dari serangan pertama mereka tahun 440 H hingga terusirnya mereka selama-lamanya dengan jatuhnya kota Acre, markas terakhir mereka di tangan Asyraf, penguasa Mamalik tahun 690 H.
[4] Istanbul sekarang, dulu kota ini didirikan oleh Constantine, kaisar Romawi pada abad IV dan berhasil dikuasai Turki Usmani pada tahun 1453 M.

Selasa, 12 Maret 2019

Qalahhi; Tempat Persembunyian Sa’d bin Abi Waqqash Masa Fitnah


Gurun Rub al-Khali 
english.alarabiya.net

Yaqut al-Hamawi dalam Mu’jam al-Buldan (4/393-394) mengatakan:
“Qalahhi (قَلَهِّي)  dengan fathah di (huruf) awal dan kedua, tasydid dan kasrah di huruf (هـ) , semacam galian milik Sa’d bin Abi Waqqash, disini Sa’d mengasingkan diri setelah terbunuhnya Usman bin Affan, dan ia memerintahkan untuk tidak memberitahunya dengan sesuatu kabar apapun sampai kaum Muslimin berdamai”. 
Semoga kita dijauhkan dari fitnah, baik yang nampak maupun yang tersembunyi.

Jumat, 08 Maret 2019

Apakah Syi’ah membela Ali dan Keturunannya*



Abd al-Qahir al-Baghdadi mengatakan dalam al-Farqu bain al-Firaq[1]:
“Rafidhah Kufah memiliki sifat ghadr (khianat) dan bakhil, hal ini menjadi matsal bagi mereka dalam dua sifat ini, sampai dikatakan: Lebih bakhil dari penduduk Kufah, lebih ghadr (khianat), dan pengkhianatan mereka yang termasyhur terdapat dalam tiga peristiwa:
1. Setelah kematian Ali, mereka mereka membaiat Hasan, kemudian mengkhianatinya di Saabaath Madain (ساباط مدائن)[2] hingga ia ditusuk oleh Sinan al-Ju’fi[3] dengan menusuknya di lambungnya[4] ketika Hasan di kudanya, hal itu menjadi salah satu sebab ia berdamai dengan Muawiyah[5].
2. Mengirim surat kepada Husain dan memintanya datang ke Kufah untuk membantu mereka menyingkirkan Yazid, hingga Husain terpengaruh dan menuju Kufah, ketika tiba di Karbala, mereka mengkhianatinya hingga mereka bergabung dengan (pasukan) Ubaidullah bin Ziyad bersatu melawan Husain hingga ia dan banyak keluarganya terbunuh di Karbala.
3. Pengkhianatan mereka terhadap Zaid bin Ali bin Husain[6], melepaskan diri dari baiat yang sebelumnya mereka berikan pada Zaid dan kemudian menyerahkannya ketika sengitnya pertempuran. Selesai nukilan.

Ngangkruk, Kamis, 01 Rajab 1440 H/06 Maret Maret 2019 M pkl. 23.01 WIB.



* Judul dari penulis.
[1] Abd al-Qahir al-Baghdadi, al-Farqu Bain al-Firaq, tahqiq Muhammad Muhyi ad-Din Abd al-Hamid, (Kairo: Maktabah Muhammad Ali Shabih wa Auladuhu, Tt.), hlm. 37.
[2] Salah satu nama tempat yang terkenal di Madain (Ctesiphon), bekas ibukota Persia yang berhasil ditundukkan Sa’d bin Abi Waqqash pada Shafar 16 H masa Umar bin  Khattab. Menurut bahasa Ajam, Saabaath ini namanya Balas Abad, dinisbatkan kepada nama orang yang bernama Balas. Lihat Yaqut al-Hamawi, Mu’jam al-Buldan, (Beirut: Dar ash-Shadir, 1397 H), 3/166.
[3] Demikian disebut, namun dalam riwayat di Ansab al-Asyraf disebut Jarrah bin Sinan al-Asadi, ia membawa gancu dan menusuk paha Hasan hingga hampir menembus tulang, Hasan diselamatkan oleh dua orang; Abdullah bin Khodl ath-Tha’i dan Dzabiyyan bin Ammarah at-Tamimi hingga Jarrah mati. Baladzuri, Ansab al-Asyraf, tahqiq Suhail Zakkar dan Riyadh Zirikli, (Beirut: Dar al-Fikr, Tt.), 3/1208. Jika betul Jarrah bin Sinan pelakunya, sungguh ia juga yang mencela Sa’d bin Abi Waqqash ketika menjabat sebagai gubernur di Kufah masa Umar hingga dikirim Muhammad bin Maslamah untuk klarifikasi dan kemudian nampak bersihnya Sa’d. Lihat Ibnu Katsir, al-Bidayah wa an-Nihayah, tahqiq  Abdullah bin Abd al-Muhsin at-Turki, (Kairo: Hajar, Cet. 1, 1418), 11/112-113 peristiwa tahun 21 H.
[4] Dalam riwayat di Ansab al-Asyraf di pahanya.
[5] Menurut Khalid al-Ghaits dalam Marwiyat Khilafah Muawiyah fi Tarikh ath-Thabari, upaya pembunuhan kedua terhadap Hasan ini terjadi setelah islah antaranya dengan Muawiyah. Wallahua’lam.
[6] Terjadi tahun 122 H di Kufah masa Hisyam bin Abdul Malik (105-125 H).

Al-Mizzi, Ibnu Taimiyah dan Penjara Ibnu Hajar mengisahkan dalam biografi al-Mizzi bahwa ia pernah mengalami cobaan dengan dipenjara, perist...