Sabtu, 22 Juni 2019

Shahabat Pertama yang Hijrah ke Madinah


sumber gambar: library.islamweb.net

Imam Bukhari meriwayatkan dari Bara’ bin Azib menyebutkan:

أَوَّلُ مَنْ قَدِمَ عَلَيْنَا مُصْعَبُ بْنُ عُمَيْرٍ وَابْنُ أُمِّ مَكْتُومٍ ثُمَّ قَدِمَ عَلَيْنَا عَمَّارُ بْنُ يَاسِرٍ وَبِلَالٌ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُم
“Yang pertamakali datang kepada kami (dari Muhajirun) adalah Mush’ab bin Umair, Ibnu Umi Maktum, kemudian datang kepada kami Ammar bin Yasir dan Bilal –radhiyallhuanhum-[1]“.
Dalam riwayat lain disebutkan:
أَوَّلُ مَنْ قَدِمَ عَلَيْنَا مُصْعَبُ بْنُ عُمَيْرٍ وَابْنُ أُمِّ مَكْتُومٍ وَكَانَا يُقْرِئَانِ النَّاسَ فَقَدِمَ بِلَالٌ وَسَعْدٌ وَعَمَّارُ بْنُ يَاسِرٍ ثُمَّ قَدِمَ عُمَرُ بْنُ الْخَطَّابِ فِي عِشْرِينَ مِنْ أَصْحَابِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ثُمَّ قَدِمَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
Yang pertamakali datang kepada kami adalah Mush’ab bin Umair, Ibnu Umi Maktum, dan keduanya mengajarkan al-Qur’an kepada manusia (Anshar). Kemudian datanglah Bilal, Sa’d , Ammar bin Yasir, kemudian datang Umar bin Khattab bersama 20 shahabat Rasulullah hingga datanglah Rasulullah[2]”.

Ibnu Ishaq dan Ibnu Sa’d menyebut bahwa shahabat pertama yang datang ke Madinah dari kaum Qurays dari Bani Makhzum adalah Abu Salamah Abdullah bin Abdul Asad, dimana ia hijrah setahun sebelum Baiat Aqabah. Sebelumnya, ia hijrah ke Habasyah dan kembali ke Rasulullah di Mekkah. Ketika agamanya diusik, ia kemudian berhijrah ke Madinah setelah mendengar Islamnya sebagian Anshar[3].
Jadi, siapa yang lebih dulu?.
Ibnu Hajar menunjukkan jalan tengah dari riwayat yang sepertinya bertentangan ini antara Mush’ab dan Abi Salam, manakah yang lebih dulu berhijrah dengan membedakan motif hijrah mereka. Mush’ab hijrah ke Madinah dengan tujuan untuk tinggal di Madinah dan mengajarkan Islam kepada kaum muslimin berdasar perintah Rasulullah, sedangkan Abu Salamah hijrahnya karena lari menyelamatkan agamanya dari kaum Musyrik Makkah. Sehingga keduanya yang pertama hijrah dengan sebabnya sendiri[4].
Jalan tengah dari sisi lain, bisa dikatakan bahwa Abu Salamah hijrah dengan keluarganya, sebagamana riwayat Muslim dari Ummu Salamah ia mengatakan:
أَيُّ الْمُسْلِمِينَ خَيْرٌ مِنْ أَبِي سَلَمَةَ أَوَّلُ بَيْتٍ هَاجَرَ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
“Siapa dari kaum muslimin yang lebih baik dari Abu Salamah, keluarga pertama yang hijrah kepada Rasulullah[5]”.
Namun, dikatakan pula bahwa istri shahabat yang pertamakali datang ke Madinah adalah Ummu Salamah, ada juga pendapat lain yang mengatakan Ummu Abdullah binti Abi Khatsmah; istri dari ‘Amir bin Rabiah[6].
Wallahua’lam.

Diadaptasi dari Mukhtasar Sahih Sirah Nabawiyah karya Hamad bin Sulaiman al-‘Udah, hlm. 158-159. 
Mendawai Pangkalan Bun, 20 Syawal 1440 H/22 Juni 2019.




                [1] Bukhari, Sahih, 4/252, 8/81; Muslim, Sahih, 4/1779.
                [2] Bukhari, Sahih, 4/264.
                [3] Ibnu Hisyam, Sirah Nabawiyah, 2/122; Ibnu Sa’d. Tabaqat, 1/255.
                [4] Ibnu Hajar, Fathul Bari, 7/261.
                [5] Muslim, Sahih, 2/632.
                [6] Baihaqi, Dalailun Nubuwwah, 2/460; Ibnu Hajar, Ishabah, 13/223.

Jumat, 21 Juni 2019

Ente di Bagian Mana?

Desert Oasis 2 by Youness El Ouair

Abul Qasim, keponakan Abu Zur'ah ar-Razi mengatakan:
Seseorang datang kepada pamanku, Abu Zur'ah dan mengatakan:
"Wahai Abu Zur'ah, aku membenci Muawiyah!!
Abu Zur'ah menjawab: "Kenapa?"
Ia menjawab: "Karena Muawiyah memerangi Ali bin Abi Thalib".
Abu Zur'ah menjawab:"Sungguh Rabb Muawiyah itu Rabb Yang Maha Penyayang, dan lawannya Muawiyah itu lawan mulia. Lalu, kamu ada dimana antara keduanya ridhwanullahu alaihim ajma'in?
_______________________________________________________



Mukhtasar Tarikh Dimasyq karya Ibnu Manzhur, 25/39 via Muawiyah karya Hamad Usman, hlm. 32.

Kamis, 20 Juni 2019

Anshar Muhajirun; Anshar yang Berhijrah Layaknya Muhajirin




Sumber gambar: qiraatafrican.com

Anshar adalah kaum di Madinah yang menolong Rasulullah dan Islam. Muhajirun adalah orang yang terusir dari tanah airnya, terutama di Makkah yang kemudian hijrah ke Madinah demi menyelamatkan agamanya.
Tentang Muhajirun, Allah menjelaskan:
لِلۡفُقَرَآءِ ٱلۡمُهَٰجِرِينَ ٱلَّذِينَ أُخۡرِجُواْ مِن دِيَٰرِهِمۡ وَأَمۡوَٰلِهِمۡ يَبۡتَغُونَ فَضۡلٗا مِّنَ ٱللَّهِ وَرِضۡوَٰنٗا وَيَنصُرُونَ ٱللَّهَ وَرَسُولَهُۥٓۚ أُوْلَٰٓئِكَ هُمُ ٱلصَّٰدِقُونَ ٨
(Juga) bagi orang fakir yang berhijrah yang diusir dari kampung halaman dan dari harta benda mereka (karena) mencari karunia dari Allah dan keridhaan-Nya dan mereka menolong Allah dan Rasul-Nya. Mereka itulah orang-orang yang benar”. (Al-Hashr: 8)
Tentang Anshar, Allah menyebut:
وَٱلَّذِينَ تَبَوَّءُو ٱلدَّارَ وَٱلۡإِيمَٰنَ مِن قَبۡلِهِمۡ يُحِبُّونَ مَنۡ هَاجَرَ إِلَيۡهِمۡ وَلَا يَجِدُونَ فِي صُدُورِهِمۡ حَاجَةٗ مِّمَّآ أُوتُواْ وَيُؤۡثِرُونَ عَلَىٰٓ أَنفُسِهِمۡ وَلَوۡ كَانَ بِهِمۡ خَصَاصَةٞۚ وَمَن يُوقَ شُحَّ نَفۡسِهِۦ فَأُوْلَٰٓئِكَ هُمُ ٱلۡمُفۡلِحُونَ ٩
Dan orang-orang yang telah menempati kota Madinah dan telah beriman (Anshor) sebelum (kedatangan) mereka (Muhajirin), mereka (Anshor) ´mencintai´ orang yang berhijrah kepada mereka (Muhajirin). Dan mereka (Anshor) tiada menaruh keinginan dalam hati mereka terhadap apa-apa yang diberikan kepada mereka (Muhajirin); dan mereka mengutamakan (orang-orang Muhajirin), atas diri mereka sendiri, sekalipun mereka dalam kesusahan. Dan siapa yang dipelihara dari kekikiran dirinya, mereka itulah orang orang yang beruntun”. (Al-Hashr: 9)
Namun yang penulis maksud disini adalah orang Anshar dan mereka berasal dari Madinah, namun mereka pergi menuju Mekkah ketika rombongan awal Muhajirun datang di Quba. Sehingga mereka bertemu saudaranya seiman di Mekkah hingga mereka kembali ke Madinah bersama rombongan Muhajirun yang lain, karena itu Ibnu Sa’d menyebut mereka sebagai Muhajirun Anshariyun karena aslinya mereka orang Anshar namun mereka ikut berhijrah sebagaimana hijrah saudara seimannya dari kaum Muhajirun.
Diantara mereka adalah:
1) Dzakwan bin Abdu Qais,
2) Uqbah bin Wahab bin Kaldah,
3) Abbas bin Ubadah bin Nadhlah,
4) Ziyad bin Labid.
Sungguh kerinduan kepada saudara yang dicintainya menjadikan mereka rela menempuh perjalanan yang sulit, disamping mereka akan mendapatkan ganjaran atas hijrah mereka.
Wallahua’lam.


Diadaptasi dari Mukhtasar Sahih Sirah Nabawiyah karya Sulaiman bin Hamad al-‘Udah –hafizhahullah-, hlm. 163.

                

Selasa, 18 Juni 2019

Bolehkah Berharap Kematian?


sumber gambar: dream.co.id

Ulama mensahihkan hadist yang menunjukkan bahwa seseorang dilarang berharap kematian, kecuali ia takut fitnah akan menimpanya. Akan lebih utama baginya mengucapkan do’a yang ma’tsur dari Rasulullah:
اللم احييني إذا كانت الجياة خيراً لي، وتوفني إذا كانت الوفاة خيراً لي
“Ya Allah, berikan kehidupan kepadaku jika hidup itu lebih baik bagiku. Matikan aku jika kematian itu lebih baik bagiku[2]”.
Maka ia tidak mengharapkan kematian, karena Rasulullah bersabda:
لا يتمنين أحد منكم الموت لضر نزل به
Jangan sampai salah seorang diantara kalian meminta kematian karena bahaya yang menimpanya[3]”.
Sedangkan cerita tentang Maryam sebagaimana disebut dalam Al-Qur’an:
يَٰلَيۡتَنِي مِتُّ قَبۡلَ هَٰذَا وَكُنتُ نَسۡيٗا مَّنسِيّٗا
Aduhai, alangkah baiknya aku mati sebelum ini, dan aku menjadi barang yang tidak berarti, lagi dilupakan. (Maryam: 23)
Maka ketakutan Maryam karena khawatir akan aib dan cela yang akan menimpanya dan celaan serta tuduhan kepadanya, karena ia hamil tanpa ada laki-laki yang menyentuhnya. Maka Allah berkehendak untuk melepaskannya dari tuduhan tersebut dengan menjadikan anaknya –Isa alihissalam- berbicara ketika ia masih berada di buaian dan melepaskan Maryam dari tuduhan yang dimaksud.
Jika seseorang khawatir dengan fitnah yang menimpa atau hal yang semacamnya, maka boleh baginya berharap mati. Namun hukum asalnya bahwa tidak boleh seseorang mengharap kematian. Ia harus mengharap kehidupan yang bahagia, karena sisa umurnya akan kebih baik baginya, karena Allah akan mengampuni dosanya yang telah lampau.
Wallahua’lam bishshawab.

Diadaptasi dari Ibhaj al-Mukminin Syarh Manhaj Salikin karya Abdullah al-Jibrin –rahimahullah-, 1/239-240.
__________________________________________________________

[1] Bukhari, Sahih, 5671; Muslim, Sahih, 2680.
[2] Bukhari, Sahih, 5671; Muslim, Sahih, 2680.


Senin, 17 Juni 2019

Muawiyah Meneladani Umar

sumber gambar: pixabay.com


Al-Khallal meriwayatkan dengan sanadnya dari Zuhri yang menyebutkan bahwa  Muawiyah memerintah dengan metodenya Umar bin Khattab selama dua tahun dengan tanpa menguranginya sedikitpun[1]
Ini maknanya Muawiyah adalah seorang pembelajar yang baik dan mengambil faidah dari masa sebelumnya, apalagi ia juga menjadi bagian dari pegawai Umar di Syam sejak mangkatnya Yazid bin Muawiyah karena wabah tha’un Amwas.
Umar bin Khattab menjadi salah satu contoh utama dalam bernegara. Barangkali sisi yang sangat menonjol dari Umar adalah keadilan, kepedulian, dan amanah. Muawiyah memiliki sifat tersebut meski derajatnya dibawah derajat Umar.
Sebab ini dan lainnya menjadikan Muawiyah banjir pujian, Dzahabi menyebut bahwa Mu’āwiyah meninggalkan banyak orang yang mencintainya, guluw dalam cinta padanya, dan mengunggulkannya dari yang lain. Hal itu terjadi karena kekuasaannya yang penuh dengan pemuliaan, kebijaksanaan, dan mudah memberi[2].
Gurunya Dzahabi, Ibnu Taimiyah menjelaskan bahwa peri kehidupan Muawiyah dengan rakyatnya adalah sebaik-sebaik peri kehidupan para pemimpin, dan (hasilnya) rakyat mencintainya[3]”.
Pada kesempatan lain Ibnu Taimiyah menyebut kemuliaan Muawiyah dengan dengan nada bertanya dan menantang:”Apakah ada peri kehidupan raja yang seperti Muawiyah?[4]”.
Wallahua’lam.






[1] Al-Khallal, Sunnah, 6/444 no.683. Muhaqiqnya, Dr. Athiyah az-Zahrani mengatakan bahwa Isnadnya sahih.
        [2] Aż-Żahabȋ, Siyar A’lām an-Nubalā,6/267.
[3] Ibnu Taimiyah, Minhajus Sunnah, 6/247.
        [4] Ibnu Taimiyah, Minhajus Sunnah, 6/236..

Minggu, 16 Juni 2019

Hasan al-Basri –rahimahullah- dan Sikapnya Terhadap Pemberontakan Kepada Hajjaj


Hasan mengatakan:
“Hajjaj (bin Yusuf ath-Thaqafi) adalah azab Allah, jangan menolak azab Allah dengan tangan-tangan kalian, tetapi kalian harus tunduk dan merendahkan (kepada Allah), karena Allah mengatakan:
وَلَقَدْ أَخَذْنَاهُم بِالْعَذَابِ فَمَا اسْتَكَانُوا لِرَبِّهِمْ وَمَا يَتَضَرَّعُونَ
Dan sesungguhnya Kami telah pernah menimpakan azab kepada mereka, maka mereka tidak tunduk kepada Tuhan mereka, dan (juga) tidak memohon (kepada-Nya) dengan merendahkan diri” (Al-Mu’minun: 76)”.
Ibnu Sa’d: 7/164 dengan sanad yang sahih dengan beberapa perbedaan redaksi; Ibnu Taimiyah: Minhaj as-Sunnah: 4/529.
Fawaid:
1. Hasan al-Basri adalah seorang tabi’in yang terkenal dengan ketokohannya dalam ilmu dan amal, dan ketulusannya memberikan nasehat kepada umat sesuai dengan dalil yang benar.
2. Cara yang benar menolak kezaliman menurut Hasan adalah tunduk, patuh, dan meminta kepada-Nya dengan merendah. Maka janganlah api dibalas dengan api, hendaklah ia dibalas dengan air yang memadamkan dan menyejukkan.
3. Sikap yang benar jika mendapati kezaliman penguasa adalah bersabar, sebagaimana disebut Hasan al-Basri.
4. Hajjaj bin Yusuf dikatakan oleh Rasulullah dengan mubir (penumpah darah) dalam hadist Asma di Sahih Muslim (6443), Rasulullah bersabda:
أَنَّ فِي ثَقِيفٍ كَذَّابًا وَمُبِيرًا
Sungguh di Tsaqif ada pendusta dan penumpah darah”.
فَأَمَّا الْكَذَّابُ فَرَأَيْنَاهُ وَأَمَّا الْمُبِيرُ فَلَا إِخَالُكَ إِلَّا إِيَّاهُ قَالَ فَقَامَ عَنْهَا وَلَمْ يُرَاجِعْهَا
Asma mengatakan: adapun pendusta itu sudah kita lihat (Mukhtar bin Abi Ubaid at-Tsaqafi), adapun penumpah darah aku menduganya adalah engkau, perawi mengatakan: Hajjaj kemudian bangkit meninggalkannya tanpa menyalahkan perkataannya.
Dikatakan bahwa Hajjaj membunuh 120.000 orang! Apatah pemimpin kita sampai batas ini hingga harus memberontak?.
5. Hal ini menunjukkan konsistennya aqidah Ahlu Sunnah, dari masa Rasulullah dan shahabatnya, tabi’in hingga sekarang, hal itu dikarenakan berpegangnya mereka pada dalil. Sebaliknya, pengekor bid’ah dan hawa nafsu akan diombang-ambingkan oleh syubuhat dan syahwat.
Wallahua’lam.
Bahan Bacaan
Sahih Muslim
Mawaqif Mu’aradhah fi ‘Ahdi Yazid bin Muawiyah karya Muhammad bin Abdul Hadi asy-Syaibani.

Pangkalan Bun, 14 Syawal 1440/16 Juni 2019 M. Tulisan awal ditulis di Ngangkruk, 14 Ramadhan 1440 H/18 Mei 2019. 

Sabtu, 15 Juni 2019

Firasat Ibnu Abbas akan Kekhalifahan Muawiyah




Ibnu Abbas berdalil dengan al-Qur’an untuk menunjukkan kekhalifahan Muawiyah aberdasarkan firman Allah:
وَمَن قُتِلَ مَظۡلُومٗا فَقَدۡ جَعَلۡنَا لِوَلِيِّهِۦ سُلۡطَٰنٗا فَلَا يُسۡرِف فِّي ٱلۡقَتۡلِۖ إِنَّهُۥ كَانَ مَنصُورٗا ٣٣
Dan barangsiapa dibunuh secara zalim, maka sesungguhnya Kami telah memberi kekuasaan kepada ahli warisnya, tetapi janganlah ahli waris itu melampaui batas dalam membunuh. Sesungguhnya ia adalah orang yang mendapat pertolongan” (Al-Isra’: 33)
Ibnu Katsir رحمه الله  mengatakan:
Khabrul ummah (alim umat) ini, Ibnu Abbas mengambil keumuman ayat ini sebagai dalil bahwa Muawiyah bahwa ia akan berkuasa, karena ia adalah wali dari Usman bin Affan yang terbunuh secara zalim. Muawiyah  telah meminta kepada Ali bin Abi Thalib untuk menyerahkan pembunuh Usman kepadanya hingga ia menegakkan qisas karena Muawiyah adalah Umawi[1], sedangkan Ali bin Abi Thalib meminta tangguh hingga ia mampu menegakkan qisas[2]. Ali sendirii meminta kepada Muawiyah untuk menyerahkan Syam kepadanya, namun Muawiyah enggan hingga diserahkan para pembunuh Usman kepadanya sebagaimana Muawiyah dan penduduk Syam enggan untuk membaiat Ali , seiring berkepanjangannya perkara ini Muawiyah kemudian berkuasa sebagaimana istinbath Ibnu Abbas  dari ayat ini, dan ini sungguh perkara yang menakjubkan[3]”.




                [1] Nisbah kepada Umayyah bin Abdu Syams, baninya Usman bin Affan dan Muawiyah. Jika merunut kepada nasab, akan nampak bahwa keduanya adalah saudara sepupu dua kali dari Usman.
                [2] Hingga Ali wafat, tidak disebutkan adanya qisas kepada para pembunuh Usman sebatas pengetahuan penulis-, tidak pula ada qisas masa Muawiyah berkuasa. Qisas ini tidak ditegakkan karena kuatnya posisi para pembunuh Usman, kekhawatiran akan timbulnya fitnah yang lebih besar jika dilakukan qisas dan sebab lainnya. Ditangguhkannya qisas ini menunjukkan kebijaksanaan Ali karena pandangannya jauh kedepan melihat masalah dengan segala rincian dan konsekuensinya, sedangkan Muawiyah ketika Ali berkuasa bersikeras menuntut qisas karena belum bisa melihat sudut pandang Ali ini. Muawiyah baru menyadari sudut pandang ini ketika ia sendiri berkuasa, dan ini menurut hemat penulis menjadi sebab tidak adanya qisas pada maka kekuasaannya, padahal ia berkuasa selama hampir 20 tahun, dari tahun 41 H hingga wafatnya tahun 60 H.
                [3] Ibnu Katsir, Tafsir Ibnu Katsir, 5/73.

Jumat, 14 Juni 2019

Inkonsistensi Syiah Rafidhah





Ibnu Taimiyah –rahimahullah- mengatakan[1]:
“...kemudian, satu hal yang menakjubkan bahwa Rafidhah mengingkari celaan terhadap Ali bin Abi Thalib –radhiyallahuanhu-, tetapi mereka mengkafirkan Abu Bakar, Umar, dan Usman –radhiyallahuanhum-, mengkafirkan mereka dan yang memberikan loyalitas kepada mereka. Muawiyah –radiyallahuanhu- dan pendukungnya tidaklah mereka mengkafirkan Ali, namun yang mengkafirkan Ali adalah Khawarij al-Mariquun[2], sedangkan Rafidhah lebih buruk dari Khawarij. Jika Khawarij mengingkari celaan, maka hal ini  bukti inkonsistensi mereka. Maka bagaimana jika Rafidhah yang mengingkari (celaan)?.
Tidak diragukan lagi bahwa mencela shahabat itu tidak dibolehkan: baik yang dicela itu Ali, Usman, atau selain keduanya. Barangsiapa yang mencela Abu Bakar, Umar, dan Usman maka dosanya lebih besar daripada orang yang mencela Ali”.
Wallahua’lam.

Pangkalan Bun, 12 Syawal 1440 H/14 Juni 2019 M.


                [1] Ibnu Taimiyah, Minhajus Sunnah, 4/468.
                [2] Dari kata (مَرَقَ) yang bermakna keluar dengan cepat. Dalam hadist Khawarij dikatakan bahwa mereka:
يَمْرُقُونَ مِنْهُ كَمَا يَمْرُقُ السَّهْمُ مِنَ الرَّمِيَّةِ
“Mereka melesat keluar dari agama sebagaimana anak panah keluar dari busurnya”.


Kamis, 06 Juni 2019

Hidayah itu Mahal, Sob!



Rasulullah di Makkah berusaha menyebarkan dakwah dengan memerintahkan hijrah ke Habasyah, lalu datang ke Thaif walau belum berhasil juga. Rasulullah kemudian menawarkan Islam diantara kabilah  yang datang ke Makkah dan mengatakan:
   من رجل يحملني إلى قومه فيمنعني حتى أبلغ رسالة ربي، فإن قريشا قد منعوني أن أبلغ رسالة ربي
"Siapakah orang yang sudi membawaku ke kaumnya dan melindungiku hingga aku (bisa) menyampaikan risalah rabbku, sungguh Qurays telah menghalangiku menyampaikannya"
(Abu Dawud, 3960 dan lainnya. Disahihkan Syaikh Albani)
Ketika Allah menghendaki tegaknya agama, bertemulah Nabi dengan 6 orang utusan Khazraj, salah satu diantara mereka mengatakan pada yang lain:
يا قوم، تعلمون والله إنه للنبي الذي توعدكم به يهود، فلا يسبقنكم إليه - وكان اليهود في بلادهم معهم ويستفتحون به عليهم - فأجابه إلى الإسلام.
Wahai kaumku, ketahuilah demi Allah bahwa (Muhammad) itu nabi, dimana Yahudi mengancam kalian dengannya - Yahudi tinggal bersama di negeri mereka dan meminta tolong untuk beroleh kemenangan atas mereka (Aus dan Khazraj) dengan nabi - akhirnya, mereka (orang Khazraj) tersebut menerima Islam.
(Ibnu Hisyam, Sirah Nabawiyah 1/81-83; Ibnu Sa'd, Tabaqat 1/219).
-------------------------------------
Sobat, umat Anshar terpilih mendapatkan kemuliaan menjadi penolong Rasulullah, padahal kesempatan itu dilewatkan penduduk Thaif, bahkan dilewatkan orang Yahudi yang tahu akan kebenaran namun tidak mengikutinya
اللذين أتيناهم الكتاب يعرفونه كما يعرفون آبنائهم
"Orang-orang yang kami berikan al-kitab mengenalinya (Muhammad) sebagaimana mereka mengenali anak-anak mereka".
Sobat, orang yang tahu kebenaran belum tentu menetapinya sob!, orang Yahudi tidak menerima kebenaran karena nabi yang turun ternyata bukan dari kaum mereka.
Namun, penghalang hidayah itu bukan hanya ini sob!, kadang kedudukan menjadi penghalang hidayah sebagaimana pemuka Qurays di Makkah. Kaddang pula ketakutannya atas kaumnya menjadi penghalang, sebagaimana yang terjadi pada Heraclius, kaisar Romawi.
Sob, ketiadaan atau sedikitnya penghalang ini yang barangkali menjadi sebab mudahnya hidayah itu turun bagi orang-orang awam kebanyakan, beda hal dengan pemuka yang takut dengan kedudukan, atau orang kaya yang takut dengan hartanya.
Semoga Allah memberikan hidayah kepada kita semua.
Wallahua'lam.
-----------------------
Disarikan dengan penambahan dari Mukhtasar Sirah Sahihah karya Sulaiman al-'Udah, hlm. 141-143.

Al-Mizzi, Ibnu Taimiyah dan Penjara Ibnu Hajar mengisahkan dalam biografi al-Mizzi bahwa ia pernah mengalami cobaan dengan dipenjara, perist...